Oleh: Heryanto, SH, M.Kn
Seperti pepatah “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”. Begitu juga dengan aneka ragamnya penduduk Negara kita yang konon terdiri lebih dari 400 suku bangsa dan tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan corak adat istiadat yang khas dan berbeda satu sama lainnya yang merupakan khazanah kebudayaan yang tiada ternilai harganya.
Dalam wilayah yang sangat luas ini, adat istiadat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercaya sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah.
Lebih daripada itu, menurut penyelidikan Van Vollenhoven maupun sarjana-sarjana lainnya, adat istiadat Indonesia tidak sebatas daerah hukum persada Indonesia serta tidak saja bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia saja, tetapi juga tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Filipina dan Taiwan di sebelah Utara di pulau Malagasi (Madagaskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai di kepulauan Paska yang dianut serta dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti etnik.
Melihat begitu banyaknya suku bangsa penduduk serta betapa luasnya wilayah Negara kita tak ayal kita hidup berbaur dalam berbagai budaya, adat istiadat, karakter serta kultur sosial yang berbeda antara satu suku bangsa penduduk dengan suku bangsa penduduk lainnya dalam Negara kita.
Apakah kita perlu takut hidup dengan berbagai perbedaan itu? Tentu saja tidak. “Beda itu indah”, seperta kata A’a Gym. Kalau kita semuanya sama, akan timbul rasa bosan yang tiada batas tiada ujungnya, karena beda itulah, setiap pagi kita mendapat rahmat bisa menyaksikan terbitnya matahari dan menikmati tenggelamnya sang surya di balik batas cakrawala menjelang senja.
Kerena beda jugalah, kita kenal ada lembah sebagai kebalikan dari kebukitan atau pegunungan. Adanya jenis kelamin laki-laki yang berbeda dari perempuan, adanya bangunan gubuk yang berbeda harga ekonomianya dengan gedung pencakar langit, adanya susah dan senang, sehat dan sakit, kaya dan miskin dan masih ada seribu satu perbedaan lagi.
Begitu juga dalam berbangsa dan bernegara dalam masyarakat kita. Kultur budaya Wong Solo beda dengan orang Medan, Andi yang dari Sulawesi berbeda perangainya dari Koko David maupun Cece Natalie yang dari etnis Tionghoa. Ritual keagamaan yang dilakukan Made dari Bali beda dengan Marcelia kekasihnya yang berasal dari Nusa Tenggara. Aksennya Bang Mandra dari Betawi kentara bedanya dari Basoefi yang Arek Suroboyo maupun dengan Fitriyani yang berasal dari Kabupaten Sambas yang rumpun Melayu.
Beragam perbedaan suku bangsa penduduk Negara kita sesungguhnya adalah suatu berkah dan maha karuia bila kita dengan pikiran positif dan terbuka menerima dan mengelolanya baik itu untuk penelitian buat seorang Antropolog, pengambil kebijakan pemerintah, bakal calon Kepala Daerah yang lagi hangat-hangatnya saat ini sampai buat seorang Notaris sebagai Pejabat Umum.
Bagi seorang Anthropolog yang mempelajari beraneka suku-suku bangsa ternyata didapati suku bangsa penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai akan berbeda temteramennya dengan suku bangsa penduduk yang tinggal di dekat daerah pegunungan. Sedangkan bagi pengambil kebijakan, beraneka ragam suku memudahkan mensosialisasikan maupun menerapkan kebijakan program yang telah dibuat. Bagi seorang calon Kepala Daerah, beraneka ragam suku bangsa penduduk ibarat telah disediakan visualisasi statistik yang dapat dimanfaatkan secara cerdas oleh sang calon beserta team suksesnya untuk menuai simpati hingga memenangkan pemilihan nantinya.
Sekarang bagaimana dengan keaneka-ragaman suku bangsa penduduk dimata seorang Notaris selaku Pejabat Umum yang membuat kan akta-akta otentik? Hal ini merupakan tolak ukur dalam menentukan pembuatan surat keterangan waris bagi para pihak yang datang kepadanya.
Apakah ia menyarankan para pihak untuk membuat surat keterangan waris tersebut oleh Notaris apabila para pihak tersebut dari golongan Tionghoa yang tunduk pada ketentuan Burgelijk Wetbook atau Hukum Perdata Barat. Jika para pihak adalah golongan Bumiputra maka surat keterangan waris tersebut dibuat sendiri dengan diketahui oleh Lurah serta dikuatkan oleh Camat. Sedangkan jika yang datanga adalah golongan Timur Asing bukan Tionghoa seperti orang Arab, India, Pakistan, Mesir dan lainnya, maka surat keterangan waris tersebut akan disarankan Notaris agar pembuatannya dibuat oleh Balai Harta Peninggalan atau BHP. Bagaimana kalau yang datang adalah golongan Tionghoa tapi beragama Islam misalnya, maka surat keterangan waris tersebut dibuat oleh Notaris karena pembutan surat keterangan waris tolak ukurnya adalah golongan penduduk tidak didasarkan pada agama yang dianut.
Bagitu pula pembagian golongan penduduk akan menentukan Hukum Perdata yang bagaimanakah yang akan diberlakukan terhadap masing-masing golongan penduduk yang menurut ketentuan Indiche Stactsregeling (I.S) pasal 163 ayat 1 dibagi ke dalam 3 golongan penduduk Indonesia, berupa:
1. Golongan Eropah, yakni bangsa Belanda, bukan bangsa Belanda (etapi asalnya dari Eropah), bangsa Jepang, orang-orang yang berasal dari negara lain yang bukan keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda (Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan), serta keturunan mereka yang tersebut di atas.
2. Golongan Timur Asing yang meliputi golongan Cina, golongan Timur Asing bukan Cina (Arab, India, Pakistan, Mesin dll).
3. Golongan Bumi Putra (Indonesia), yakni orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan rakyat lain, orang yang mula-mula termasuk golongan-golongan rakyat lain lalu masuk dan menyesuaikan hidup dengan golongan asli.
Sebenarnya pembagian golongan penduduk Indonesia tersebut sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang ini lagi, sudah tidak sesuai zamannya dan ketinggalan kereta. Akan tetapi selama peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda tersebut belum dicabut kita tetap mengenal pembagian golongan penduduk sebagaimana tersebut. Lagi pula toh siapa yang peduli? Sakit hati kita pernah dijajah Belanda seolah sudah memudar seiring memasuki masa reformasi dan lagi pula reformasi sendiri berjalan carut marut dan banyak yang tidak sesuai dengan harapan banyak pihak.
Iya, kita saat ini memang serba sibuk sendiri. Kita saling bertikai dalam level kita sendiri. Beberapa hari lalu dalam berita Seputar Indonesia terjadi pertikaian antar ormas di Jakarta dan berakhir dengan dua orang tewas dengan sia-sia. Dalam acara Info Entertaiment, Moreno dengan Bagoes yang sama-sama pembalap menjadi konsumsi berita karena terlibat perkelahian diantara mereka.
Kemarin saya baca berita di media masa, Pak SBY marah sekali kepada Amien Rais yang berani menudingnya menerima dana kampanye dari DKP dan luar negeri pada Pilpres 2004 lalu. Dan pada pagi hari ini, ketika saya baru buka jendela dan melek mata, terdengar sayup-sayup tetangga depan saya membentak tetangga sebelahnya tanpa saya tahu apa sebabnya. Ya, bagi saya tak apa-apa, mereka bermasalah dalam levelnya. Kalau tetangga saya berani-beraninya membentak Pak SBY jikalau kesempatan itu ada, baru berita sensasi namanya.
Kita sepakati saja, masalah ini seperti badai yang pasti berlalu. Beda itu indah. Banyaknya suku bangsa penduduk Negara kita dan adanya pembagian golongan penduduk tidak lantas membuat jurang pemisah yang tidak kita ketahui dalamnya. Akan tetapi alangkah baik serta bijaknya kita saling mengenal, sebab bukankah “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta?”.(publish in Borneo Tribune, 2 Juli 2007)
Penulis adalah Notaris/PPAT berkedudukan di Kota Pontianak, Legal DPD REI Kalbar dan Yayasan Bunda Kasih Pontianak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar