Senin, 30 Juli 2007

SEMBILUH MASA LALU

A NOVEL BY : HERYANTO
KESATU

Hujan deras semalaman seperti membawa berkah buat pagi ini. Cuaca menjadi terang dan terasa adem meskipun angin tiada berhembus. Awan putih tipis dilangit kebiruan bumi zamrud khatulistiwa seolah juga nampak malas bergerak, hanya sesekali semilir angin sepoi-sepoi terasa menerpa wajah.
Pagi ini, Shinta yang nama lengkapnya Shinta Gunawan, SH sudah tiba dihalaman depan kantor dengan Honda jazz biru mobil kesayangannya. Biasanya Shinta tidak sepagi ini masuk kekantor. Tanti dan Yanto maupun Pak Achmad security kantor serta staf lainnya yang datang dan membuka kantor duluan.
Shinta sepagi ini ke kantor karena Pak Sudirman yang konsultan perkebunan sawit sudah beberapa hari ini menelpon ke Shinta akan ada klien yang meminta jasanya untuk dibuatkan akta jual beli perusahaan. Ya, soal membuat akta Shinta memang ahlinya karena ia seorang Notaris. Jabatan yang cukup terhormat dan membuatkan akta jual beli perusahaan merupakan transaksi besar dan honor yang bakal didapat Shinta juga tidak sedikit.
Shinta meminta Bu Siti yang bagian kebersihan agar ruang tamu ditata lebih rapih lagi, sementara ia sendiri memilih bersih-bersih meja

1
kerjanya. Sembari menunggu kedatangan Pak Sudirman cs, Shinta membaca-baca contoh konsep akta yang bakal dijadikan bahan diskusi dengan kliennya nanti.
Kurang lebih hampir pukul delapan, muncul Pak Sudirman, tapi masih sendirian.
“Selamat pagi Bu Shinta, kita masih menunggu pihak penjual dan pembelinya. Saya tadi sudah HP, katanya masih dalam perjalanan ke kantor ibu. Saya tunggu di ruang tamu saja ya Bu ?”.
“Disini saja Pak Dirman, kan Pak Dirman sudah agak lama tidak ke kantor saya sini. Konsep akta secara garis besar sudah saya siapkan. Akta pendirian perseroan maupun berkas-berkas lain sebagai data pendukungnya Pak Dirman bawa?” Tanya Shinta sembari meminta tamunya tidak beranjak dari kursi didepan mejanya.
“Masih ditangan penjualnya. Kemarin saya sudah minta foto copynya tapi tidak dikasih. Katanya ia akan bawa aslinya sendiri pagi ini.”
“Oh.....Begitu Pak. Keinginan klien itu beda-beda ya Pak Dirman. Ada yang senang segala sesuatunya diurus sendiri”, Shinta menyodorkan minuman gelas kearah Pak Dirman.
“Betul juga itu Bu, tapi penjual ini kelihatan agak tertutup. Saya kemarin pertama kali ketemu di hotel tempatnya menginap. Orangnya masih muda sebantaran Bu Shinta. Tapi pembawaannya agak nervous

2
dan tidak nampak bahagia padahal bakalan terima uang gede”, jawab Pak Dirman sambil menyedot minumannya.
“Orang dari Jakarta ya Pak?” selidik Shinta.
“Dari Palangkaraya, tapi katanya dulunya orang Pontianak juga, Cuma hijrah ke Palangkaraya. Dengar-dengar harga jualnya miring Bu Shinta.”
Tak lama berselang, Tanti, staf Shinta mengantar masuk seorang laki-laki paruh baya masuk ke ruang kerja Shinta.
“Nah, ini Pak Robby yang mau beli kebun sawit,” Kata Pak Dirman sambil menyalami Pak Robby dan diperkenalkan ke Shinta.
“Shinta”.
“Robby”, Wah.....Notarisnya masih muda dan cantik lagi”, Tukas Pak Robby yang berpostur tinggi besar dan berpotongan khas seorang pengusaha tanpa basa-basi.
Shinta agak tersipu. Sekelabat hatinya membatin kebanyakan laki-laki yang mapan mudah obral pujian kepada wanita yang baru dikenalnya. Mereka tidak suka menahan pujian dan entah ada apa dibaliknya. Namun Shinta adalah seorang professional, bahkan Notaris adalah pejabat umum. Shinta merasa dengan jabatannya ia adalah wakil pemerintah yang membuatkan akta-akta otentik. Akta yang dibuatnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dimuka

3
hakim pengadilan bila timbul perkara. Mengingat ini Shinta merasa dirinya wanita yang kuat dan tangguh.
“Maaf lho Bu Notaris, ini hanya spontanitas,” sambung Pak Robby seolah menangkap isi batin Shinta. “Soalnya saya di Jakarta, Notaris yang saya temui rata-rata sudah berumur. Mungkin Pak Dirman sudah jelaskan bhwa kita memang mau transaksi jual beli kebun sawit milik Pak Lim Theng Huat?”
“Pak Lim Theng Huat? Rasanya Pak Dirman belum pernah memberitahu pemilik kebun sawitnya dari kemarin”.
“Betul Bu Shinta, meskipun saya dipercaya sebagai konsultan oleh Pak Robby dan koleganya, tapi pemiliknya saya tidak tahu. Survey kelayakan lapangan sudah kita tinjau. Nah,sekarang masalah hukum kita serahkan ke Bu Shinta. “Mudah-mudahan tidak ada masalah ya Bu. Atau Bu Shinta sudah kenal Pak Lim Theng Huat sebelumnya?”
“Eeh..... Be…Belum Pak Dir,” Sahut Shinta agak cepat dan terbersit ada nada tidak tenang.
Pak Lim Theng Huat? Kalau memang benar orangnya sama, rasanya
ucapan ”Apalah artinya sebuah nama” tidak berlaku saat ini. Keluarga
Pak Lim Theng Huat yang pernah dikenal Shinta adalah pengusaha kaya Hak Pengusahaan Hutan, bukan pemilik perkebunan kelapa sawit.
“Nanti yang datang sebagai penjualnya Pak Lim Theng Huat sendiri?”

4
Tanya Shinta dan pandangannya kearah Pak Robby dan Pak Dirman dan ingin selekasnya ia dapatkan jawaban.
“Rasanya bukan Bu Shinta. Orangnya masih muda seperti yang saya beritahu tadi. Pak Robby siapa nama penjualnya yang kita ketemu kemarin ?”
“Hartono”.
Mendapat jawaban nama ini Shinta merasa agak tenang. Nama orang sering terjadi mempunyai nama yang sama . Shinta teringat waktu ia mengambil notaris dulu dalam satu kelas ada yang namanya Shinta juga. Pernah dosen menyebut nama Shinta pada saat absen, ada dua Shinta yang bersamaan angkat tangan dan ini menjadi guyonan buat teman-teman sekelasnya. Semua ini menjadi kenangan indah buat Shinta semasa mengambil pendidikan notaris dulu.
Tak lama berselang muncul juga Hartono calon penjual kebun sawit.
“Maaf, saya agak telat,” Katanya singkat sambil menyalami semua yang ada di ruangan termasuk Shinta. Bertemu dengan Hartono ini, perasaan Shinta menangkap ada sesuatu getar-getar yang rada aneh dalam batinnya. Rasanya ia pernah bertemu atau mengenal seseorang yang mirip dengannya. Sejak menjadi notaris Shinta seperti ada indra keenam yang menyelimuti dirinya sehingga apakah ada klien yang datang dengan niat tidak baik untuk minta dibuatkan akta, perasaan

5
Shinta sudah bisa menangkapnya. Entah apakah karena menjadi notaris ia dituntut untuk menjalankan tugas jabatannya dengan hati-hati dan hal tersebut mempengaruhi dan mengasah batinnya lebih peka atau ini memang anugerah talenta tersendiri baginya, Shinta tidak
Memahaminya.
Untuk tamunya yang bernama Hartono ini Shinta merasa belum pernah ketemu tapi ada kemiripan dengan seseorang mungkin ada benarnya. Tamunya sendiri dari sikapnya jelas ia tidak mengenal Shinta.
“Bu Notaris, kami mau menjual seluruh saham termasuk semua aset-aset kebun sawit kami. Nanti Ibu hitung berapa honornya dan ini data-data perusahaan kami”, kata pria muda ini singkat dan terkesan ketus. “Pak Robby surveynya sudah final ya dan jangan bolak-balik kelokasi kebun lagi. Harganya juga jangan ditawar-tawar lagi”.
“Pak Robby ini kan beli kebun sawit yang nilai ambil alihnya tinggi. Pak Robby kan harus tahu feasibility kebun sawit tersebut. Pak Robby ini bukan bukan beli goreng pisang lho mas”, sambut Pak Dirman dan Shinta memahami Pak Dirman yang biasanya sabar terpancing emosinya.
“Ya…kita juga tahu ini bukan jual beli goreng pisang. Tiap barang itu kan ada harganya masing-masing to Pak ? Sawit itu kan tumbuh diatas tanah, jadi tidaklah sulit lihat potensinya. Bapak kan sudah lihat juga

6
sawit kita buahnya bagus-bagus dan pabrik pengolahannya juga bagus”, tukas calon penjual ini tetap dengan sikap ketusnya.
“Enjoy saja Mas Hartono. Apa yang sudah kita bicarakan dihotel kemarin beserta seluruh keluargamu kita kan sudah sepakat. Masalah hukumnya kita serahkan ke Bu Shinta ini”, tukas Pak Robby ringan, seringan kapas dan seolah ia betul-betul beli goreng pisang atau camilan lainnya yang bila dibeli tidak perlu jelimet dengan uang yang dikeluarkan.
“Baiklah Bapak-Bapak”, timpal Shinta dengan intonasi nada penuh wibawa kali ini. “Berkas-berkas ini perlu juga saya pelajari dulu. Direksi dari perusahaan yang akan mengalihkan kepemilikan saham perlu
persetujuan Komisaris. Sedangkan dari pihak pembeli perlu hadir juga.
Akan lebih baiklah semua para pihak hadirlah semua nantinya.”
“Jadi tanda tangan aktanya belum bisa sekarang Bu Shinta?” Tanya Pak Dirman seolah mewakili yang lainnya.
“Ya, Pak Dirman kasih saya tempo waktu beberapa hari. Kalau sudah siap aktanya saya HP atau telfon nanti”.
Akhirnya para tamu Shinta berpamitan. Mereka saling bersalaman meski suasana agak tegang diantara mereka tadi. Shinta juga memahami sikap Pak Robby yang tidak terbawa emosi atau tersinggung
atas ucapan Hartono tadi. Ia merasa telah membeli kebun sawit tersebut

7
dengan harga murah dan sebagai pengusaha ia merasa diuntungkan. Tidak perlulah hanya sikap ketus dan ucapan tidak menyenangkan dari penjualnya, ambil alih kebun sawit tersebut menjadi gagal.


KEDUA

Hari-hari berikutnya Shinta tenggelam dalam kesibukannya sebagai Notaris. Ada klien yang datang meminta dibuatkan perjanjian kerjasama, pembuatan surat kuasa, akta jual beli tanah dan ada juga yang datang hanya untuk konsultasi hukum. Dari semua kesibukan itu, nampaknya Shinta secara serius juga mempersiapkan akta yang berkaitan dengan ambil alih saham kebun sawit milik Hartono dan keluarganya.
Dari data-data yang ada sepertinya tidak ada masalah. Nama Perseroan Terbatas PT. GELORA SAWIT ABADI yang merupakan objek jual beli setelah dicek lewat Sistim Administrasi Badan Hukum
(SISMINBAKUM) via internet Departemen Hukum Dan Hak Asasi juga
tercatat dan tidak ada masalah. Perizinan kebun, neraca perusahaan serta pajak-pajak juga tidak bermaslah. Secara hukum, persyaratan
sudah okelah.

8
Justru yang mengganggu hati dan perasaan Shinta adalah nama Lim Theng Huat yang duduk sebagai komisaris. Lagi-lagi nama itu membuat Shinta tidak tentram.
Dari akta pendiriannya diketahui para pemegang sahamnya ada tiga orang termasuk Lim Theng Huat sendiri sebagai Komisaris. Satu orang duduk sebagai Direktur Utama dan satu orang lagi sebagai Direktur. Dilihat dari nama-nama dalam akta, kemungkinan besar mereka adalah keluarga. Sedangkan pihak yang mau ambil alih saham hanya terdiri dari Pak Robby sebagai Komisaris dan satu kolega bisnisnya yang akan duduk sebagai Direkturnya.
Meskipun nama Lim Theng Huat amat mengganggu pikiran Shinta, tapi akta-akta seperti berita acara rapat umum pemegang saham, akta pengoperan hak atas saham serta akta jual beli perusahaan sudah Shinta delegasikan ke Tanti stafnya agar dipersiapkan dengan matang.
Sampailah setelah semuanya siap, Shinta HP ke Pak Robby dan Pak Dirman untuk meminta semua para pihak datang menandatangani akta-akta tersebut.
Pada hari yang telah disepakati, muncullah satu persatu para pihak. Seperti kemarinnya yang datang duluan adalah Pak Sudirman, kemudian muncul Pak Robby dan Pak Sudarman mitra bisnisnya yang ikut menanamkan saham dalam perkebunan sawit yang akan diambil

9
alih. Kemudian muncul Hartono dan abangnya yang duduk sebagai Direktur yakni Susanto.
Kemudian muncul tiga orang lagi yang hampir saja membuat Shinta mau jatuh pingsan dan mendadak terasa lemas seluruh tubuhnya.
Betapa tidak ? Apa yang ia khawatirkan ternyata memang benar yang muncul adalah Pak Lim Theng Huat beserta istrinya yang dulunya hampir menjadi calon mertuanya. Dan lelaki yang dibelakang kedua
orang tua itu….bukankah itu Aldi ? Lelaki yang pernah menjalin manisnya kisah asmara dengan Shinta dan akan tetapi dibalik itu tersimpan banyak kenangan buruk berupa hinaan, rasa nista yang memporak-porandakan hidup Shinta kala itu karena keluarga Shinta yang miskin dan tidak sebanding dengan keluarga Aldi yang kaya raya.
Mulut Shinta terasa terkatup dan ia merasa tidak tahu bagaimana ia harus bersikap menghadapi tamu-tamunya ini. Pak Lim Theng Huat beserta istrinya juga tidak menyangka akan pertemuan ini dan merasa kikuk.
Begitu juga Aldi. Ia seolah tidak percaya dan akhirnya ia mendekati Shinta dan bertanya pendek “ Lim Hui Yong … ? Benarkah kamu Hui Yong ? Pada papan nama kamu adalah Shinta Gunawan, sejak kapan kamu ganti nama ?” suara Aldi agak parau.
Shinta hanya mengangguk pendek. Seperti lautan yang baru saja

10
dilanda ombak besar dan kini seolah tiba-tiba tenang kembali. Begitu juga Shinta. Ia berusaha tegar. Shinta kini bukan Shinta yang dulu yang picisan, yang mamanya pembuat kue untuk dititipkan kewarung-warung dan papanya yang tukang jahit sehingga ia dan keluarganya mudah dipojokkan.
Ini semua masa lalu Shinta. Para tamu yang ada dihadapan ruang kerjanya kini bukan lagi untuk menghakimi dia lagi seperti masa lalunya, tapi mereka adalah kliennya. Ayo… Shinta berlakulah profesional. Kamu kini seorang Notaris. Apa yang para pihak tanda
tangan dihadapan kamu dan apa yang kamu bacakan kepada mereka
adalah bukti otentik dan akan tersimpan dalam protokolmu sebagai arsip Negara. Kuatkan hati kamu Shinta.
Seperti memperoleh kekuatan dari relung batinnya, Shinta mempersilahkan para tamunya duduk dan ia meminta juga Bu Siti
mengantarkan minuman untuk tamunya. Setelah minuman tersedia,
Shinta seperti memimpin sebuah sidang besar dan mulai membacakan akta sambil menjelaskan kronologis hukum sehingga perlu dibuat akta-akta yang nantinya perlu para pihak menanda-tanganinya.
Akhirnya pembacaan akta-akta oleh Shinta selaku Notaris selesai juga. Para pihak saling setuju dan mufakat terhadap apa yang tercantum dalam akta tersebut. Memang ada juga beberapa redaksi yang

11
para pihak minta dirubah dan Shinta menuliskan perubahan tersebut ditepi kiri akta sebagai renvoi akta.
Para pihak satu persatu membubuhkan paraf serta tanda tangannya. Sah sudah pemindahan saham kepemilikan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik keluarga Lim Theng Huat ketangan Pak Robby dan Pak Sudarman. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengambil-alihan fisik kebun beserta aset-aset serta management mereka sepakat akan diselesaikan dalam rapat dilokasi kebun nantinya.
Pak Robby menyerahkan sehelai cek sebesar dua ratus milyard rupiah kepada Pak Lim Theng Huat dan disaksikan oleh semuanya termasuk juga oleh Shinta. Nilai yang besar sekali, batin Shinta. Shinta juga mendapatkan honor akta yang nilainya lumayan besar juga. Ya, semua barang ada harganya, Shinta teringat ucapan Hartono walaupun dengan nada tidak bersahabat tempo hari, tapi ada benarnya.
Mendapat uang sebesar itu keluarga Lim Theng Huat nampak biasa-biasa saja. Tidak banyak senyum dan ekspresi mereka datar-datar saja.
Shinta membayangkan kalau saja cek tersebut diuangkan, lemari yang biasa dipakai Shinta untuk menyimpan akta-akta yang telah dibuatnya pastilah tidak muat. Kenapa mereka malah terlihat sengsara dengan uang sebanyak itu ? Ada misteri dan tanda-tanda ambruknya bisnis keluarga Lim Theng Huat yang dikenal orang kaya akankah sudah

12
diambang kehancuran ? Shinta hanya dapat menduga-duga.
Setelah semua urusan selesai, para pihak juga mulai beranjak pergi dari ruang kerja Shinta. Shinta menilai Pak Lim Theng Huat dan istrinya benar-benar orang bisnis yang mati rasa perasaannya. Selain merasa kikuk, mereka seolah-olah tidak mengenal Shinta.
Sebaliknya Aldi dengan mata sayu menyalami Shinta dan dari tatapannya tersirat ada sejuta rasa bersalah dan ingin memohon ampun atas masa lalu mereka.
Shinta tersenyum getir. Kejadian hari ini seperti kilatan petir dan melemparkan dirinya kemasa lalunya. Hatinya tersayat-sayat dan ada sembiluh disana. Ya, sembiluh masa lalu yang sebetulnya sudah mulai terpupus kini kembali menderanya. Tuhan…, ampuni hambamu ini. Janganlah ENGKAU memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan hambamu ini. Tidak terasa mata Shinta berkaca-kaca. Ia betul-betul merasa terlempar kemasa lalunya yang telah terkubur hampir puluhan tahun silam lalu lamanya.


KETIGA

Pada masa itu, Shinta yang masih memakai nama Lim Hui Yong dikenal siswa sekolah menengah atas dan selalu masuk urutan lima
13

besar dikelasnya. Sudah memang cerdas dari sananya, Hui Yong juga
siswa yang rajin belajar.
Ia gemar kemping, hobi membaca, suka mengarang atau menulis, tapi suka lupa dandan meskipun wajahnya manis. Ia lebih dikenal siswa yang pandai ketimbang cantiknya. Dengan kondisi begitu, Hui Yong kalah cantik dan menariknya dari Lie Suan, Ling Ling, Betharia apalagi Isabella yang selalu jadi juara modeling setiap kali ada acara perlombaan. Tidaklah heran, Aldi si pangeran yang tampan, gagah dan kaya dalam kelas mereka lebih tergoda dengan dara-dara jelita tersebut.
Setiap menjelang istirahat ataupun ada kegiatan sekolah merekalah pusat perhatian. Canda tawa renyah dan ucapan-ucapan khas remaja yang nakal dan menggoda selalu saling terlempar diantara mereka. Siswa-siswa lain seolah tenggelam populernya oleh mereka. Siswa lain boleh saja sibuk belajar, tapi mereka adalah bintang idola.
Kondisi ini terus berlangsung dan setelah naik kelas tiga, mereka mulai juga agak serius memperhatikan mata pelajarannya. Apalagi Pak Hendrik wali kelasnya mulai mewanti-wanti akan datangnya Ebtanas dan mereka harus tekun belajar. “Bisa lulus atau tidak nantinya semuanya tergantung usaha kalian masing-masing. Guru hanya bisa
membimbing dan mengarahkan. Masa depan ada ditangan kalian

14
masing-masing. Ingat itu !” begitu pesan Pak Hendrik setiap kali.
Tapi dasar Aldi yang mbeling dan playboy, ada kesempatan tertentu rayuan khasnya ke Lie Suan, Ling-Ling, Betharia dan Isabella tidak berhenti sama sekali juga.
“Saya hanya mau sampai SMA saja. Setelah itu saya akan kawin dengan keempat noni-noni ini,” ujar Aldi suatu ketika.
“Huh.....,gombal kamu Al, mana tahaaann.....?” balas Isabella dan disambut gelak tawa berderai dari lainnya.
Hui Yong yang duduk dibangku depan setengah berbisik bertanya ke Yanti yang duduk sebangku dengannya : “Yan.....dari keempat itu mana sih pacar Aldi”.
“Mana kutahu, ketekmu bau,”canda Yanti sambil menunjuk ke ketiak Hui Yong.
“Nih orang, ditanya lain jawabnya lain,” balas Hui Yong sambil mencubit lengan Yanti.
“Lha…..iya lah sayang. Aku inikan bukan Aspri alias asisten pribadi Aldi yang tahu jadwal Aldi selepas sekolah,” cetus Yanti sekenanya. “Jangan-jangan kamu doii nya ?” sambung Yanti cengengesan.
“Kamu ini memang centil dan usil. Kemarin saya ketemu Aldi di kantin. Alih-alih jadi pacarnya. Liat aja tidak, saya ini seperti casper yang tidak terlihat olehnya,” celetuk Hui Yong.

15
“Atau Aldi itu rabun senja kali,” kata Yanti dan keduanya tertawa bisa mengolok-olok sang pangeran tanpa ketahuan.”Makanya nona untuk bisa jadi permaisuri.........dandan dong, pipi itu dikasih bedak yang warna pink. Bulu mata juga dilentik-lentikan. Bibir mungil itu juga dikasih lipstick. Kuku itu juga jangan hitam putih gitu, kasih warna dong !”
“Yan.......Kamu kan tahu kondisi keuangan orang tuaku, mereka bukan orang kaya minimal punya toko dagangan seperti orang tuamu,” sambut Hui Yong membela diri.
“Oh.......permaisuriku,” sela Yanti sambil berlagak seperti dayang dalam dongeng cinderela. “Merias gitu bukan mewah and tak mahal kog, yang penting kemauan dan kebiasaan.”
Hari-hari berikutnya, entah menuruti nasehat Yanti sahabat karibnya atau entah memang kodratnya sebagai remaja putri yang juga rindu untuk tampil menawan, sedikit demi sedikit terjadi perubahan
penampilan Hui Yong.
“Nah......gitu dong, bunga. Yakinlah akan ada kumbang yang akan menghinggapimu” kata Yanti memuji perubahan Hui Yong.
“Kamu bikin aku geer saja. Rupanya enak juga ya, rapi-rapi gitu,” sambut Hui Yong.
Ternyata memang ada benarnya juga. Sang ketua kelas si Sunarto

16
yang bicaranya suka meledak-ledak dengan berbagai alasan mulai dari pinjam buku sampai catatan matematika berusaha mendekati Hui Yong.
“Wah.....kita salah kumbang nih atau kumbangnya yang tak tahu diri,”celetuk Yanti. “And… no….no....., itu catatan dan buku-buku jangan sampai masuk ke tas sekolahnya !”
“Habis gimana Yan, tidak dipinjam dia duduk terus dimejaku waktu istirahat,” kata Hui Yong memelas.
“Tenang-tenang…., tuan putri, masalahnya serahkan ke aku saja. Bilang buku dan catatan sudah di indent oleh yang namanya Yanti Kusumawardani gitu. Biarkan dia yang berhadapan dengan aku.”
“Thank’s, sohib. You are my best security”, kata Hui Yong sambil memeluk Yanti.

*********** O O O **********


Akhirnya, apa yang ditungu-tunggu terjadi juga. Kumbang yang ditungu-tunggu mulai juga tertarik menghampiri si Bunga yang telah menebar pesona. Aldi juga mulai ikut-ikutan meminjam catatan dari Hui Yong. Hui Yong merasa kelabakan.
“Gimana nih … dia mau pinjam catatan matematika !” keluhnya ke

17
Yanti pada saat mata pelajaran olah raga.
“Kasihkan saja”, kata Yanti pendek sambil keduanya jogging dihalaman lapangan olah raga sekolah.
“Gimana ini kamu. Katanya pinjam buku, pinjam catatan lewat kamu”, sergah Hui Yong dengan napas terengah-engah.
“Peraturan pinjam meminjam buku dan catatan tidak berlaku untuk Aldi, Nona Manis”, jawab yanti dan keduanya berhenti berlari dan rebahan direremputan pinggir lapanagan olah raga.
“Nanti ketahuan Sunarto saya tak enak”.
“Putri malu, kamu kan juga tahu Sunarto itu playboy, tapi kelasnya bukan pangeran”, balas Yanti, “biarkan saja !”
Pada jam pulang sekolah, Hui Yong benar-benar meminjamkan buku catatan matematikanya ke Aldi. Ada rasa gemetaran dan ingin rasanya bukan catatan matematika yang dipinjamkan ke Aldi, tapi juga seluruh tas sekolahnya. Ah… ini memang konyol. Dari dekat ketampanan Aldi begitu menonjol dan pantas saja banyak yang tergila-gila padanya.
“Trims … ya, nanti saya kembalikan”, kata Aldi sambil menerima buku catatan dari Hui Yong. “Pulangnya dengan siapa ?”
“Eh…eh… dengan Yanti”, balasnya sambil menunjuk Yanti yang menunggu dikejauhan sambil senyum-senyum.
Hari-hari sekolah berikutnya merupakan hari penuh semangat bagi

18

Hui Yong. Apalagi Aldi memuji catatannya begitu lengkap dan tampak pemiliknya adalah orang yang rajin. Tidak saja catatan matematika, tapi juga catatan bahasa inggris, kimia, fisika dan catan lainnya sudah masuk daftar yang selalu dipinjam Aldi. Tidak terasa lama kelamaan tidak ada rasa sungkan lagi diantara mereka. Mereka bisa merasa rileks diantara mereka dan Hui Yong terheran-heran kenapa sekian tahun dalam satu kelas baru sekarang ia bisa akrab dengan Aldi. Dulunya Aldi
begitu asing dan jauh tapi sekarang ini begitu dekat dan ada getar-getar
asmara yang sulit dijelaskan kapan timbulnya. Apabila Aldi sekarang berkumpul dan dekat dengan Lie Suan, Ling Ling, Betharia dan Isabella atau dara lainnya, ada rasa cemburu luar biasa yang mulai menyelinap dalam dirinya.
Hui Yong kini amat sentimental dan segala perasaan tertuang dalam buku diarinya. Acap kali juga ia menulis puisi dan dikirim kemajalah dinding sekolah. Terang-terangan ia persembahkan puisi tersebut untuk “someone” yang dinanti-nanti tulisnya.
Rupanya Aldi juga membaca puisi tersebut tetapi ia tidak menangkap maknanya. Tapi ia memuji-muji Hui Yong sebagai siswa berotak Einstein tapi berjiwa seni sekelas Sheakpeare. Hati dan perasaan Hui Yong benar-benar berbunga-bunga dibuatnya.

19
“Nanti saya mau menulis cerpen kamu baca ya ?” kata Hui yong ketika duduk bareng dengan Aldi di kantin pada jam istirahat sekolah.
“Cerpen ? tentu…tentu saya yang pertama kali yang akan membacanya. Kisahnya bagaimana ?” balas Aldi.
“Eehm…ceritanya…tentang seorang Don Juan dengan keempat selirnya. Tapi ternyata Don Juan tersebut diam-diam diluar sekolah sudah ada permaisurinya. Jadi ada yang patah hati, frustasi, ya…semacam kasih tak sampai gitulah”, balas Hui Yong sambil meminum minumamnya.
Aldi tertawa ngakak dan menarik perhatian siswa lainnya di kantin. Empat dara yakni Lie suan, Ling Ling, Betharia dan Isabella kebetulan juga datang kekantin dan kompak seperti biasanya.
“Waah… pantesan sudah jarang-jarang dekat dengan kita. Kapan jadiannya niih…?” ujar mereka berempat hampir serempak. Lalu mereka bak empat biduan melantunkan lagu “JATUH CINTA” nya Titik Puspa :

JATUH CINTA
BERJUTA RASANYA

BIAR SIANG BIAR MALAM
TERBAYANG WAJAHNYA

20
JATUH CINTA
BERJUTA INDAHNYA
BIAR HITAM BIAR PUTIH MANISLAH NAMPAKNYA

DIA JAUH AKU CEMAS
TAPI HATI RINDU
DIA DEKAT AKU SENANG
TAPI SALAH TINGKAH

DIA AKTIF AKU PURA PURA
JUAL MAHAL
DIA DIAM AKU CARI PERHATIAN
OH…REPOTNYA.
…………………………………………
NA NA NA NA NA NA …………….


KEEMPAT

Habis jam sekolah ini, Aldi membujuk agar Hui Yong mau diantar pulang dengan mobilnya. Hui Yong menolak dengan alasan sudah biasa

21
pulang sendiri dan kasihan Yanti tidak punya teman pulang barengan. Tapi setelah dilihatnya Yanti tidak lagi dibangku taman dibawah pohon seperti biasanya, Hui Yong menerima juga ajakan Aldi.
Seperti orang yang pertama kali naik pesawat, begitu juga perasaan Hui Yong ketika naik mobilnya Aldi. Dia belum pernah naik mobil sedan semewah ini. Deru mesin mobil yang dipacu Aldi sama juga detak jantung Hui Yong lebih dari biasanya. Ia tidak tahu sudah berapa kali keempat dara manis atau dara lainnya yang sudah pernah duduk di jok kursi mobil seperti yang ditumpanginya saat ini.
“Hei......jangan ngelamun gitu dong?” suara Aldi membuyarkan lamunan Hui Yong. “Rumahnya kearah mana atau jalan-jalan dulu dan nanti singgah kerumahku dulu ya?”
Hui Yong mengangguk dan mereka memutuskan ke alun-alun ditepian sungai kapuas. Rencananya ditempat ini akan dibangun semacam water front city seperti yang ada di Kuching, Serawak.
Meskipun tempat ini strategis untuk rekreasi keluarga tapi tidak terawat rapi. Tapi mereka tidak peduli dengan semua itu. Ada suguhan alamiah sungai kapuas didepan mereka yang dilabuhi oleh kapal-kapal barang Jakarta serta lalu lalang speed boat, kapal tug boat serta sampan-sampan kecil tradisional merupakan pesona yang indah.
Apalagi mereka disambut dengan terpaan angin kencang karena dekat

22
sungai, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua.
Mereka berjalan sambil berangkulan lazimnya yang dilakukan dua sejoli yang saling jatuh cinta.
Dalam dekapannya, Aldi mengelus rambut Hui Yong dan mengecup kening lalu kepipi dan hampir mengenai bibir mungil Hui Yong.
“Aldi… kamu nakal”, bisik Hui Yong.
“Bukan nakal, tapi romantis”, balas Aldi.
“ Kamu Don Juan yang kumaksud dalam cerpen yang akan kutulis nanti. Keempat selir yang kumaksud siapa lagi kalau bukan Lie Suan, Ling-Ling, Betharia dan Isabella. Aku tidak mau jadi selir kelima. Aku
mau jadi permaisurimu satu-satunya. Aku sayang dan cinta kamu Aldi. Kamu ngerti kan?” tumpah ruah juga perasaan Hui Yong yang dipendam selama ini terhadap Aldi.
Aldi tersenyum dan dekapannya semakin erat ketubuh mungil Hui Yong. Rasanya ia seperti artis yang bermain dalam suatu film yang bernuansa cinta. Tapi ini benar-benar nyata. Disini tidak ada kru film dan sutradara yang mengatur mereka. Semuanya mengalir begitu saja. Cinta memang penuh misteri dan ia datang bagai angin dan Hui Yong tidak ingin angin cinta itu pergi begitu saja. Seluruh hati dan cintanya sudah diserahkan ke Aldi dan Hui Yong seperti berada dalam alam maya dan baru tersentak ketika ada tukang sampan yang menawari jasa

23

untuk menyeberangkan mereka kearah kota diseberang sungai didepannya.
“Terima kasih, lain kali saja bang”, jawab Aldi ke tukang sampan yang berdiri terayun-ayun diatas sampannya. “Istri saya ini takut air dan tidak bisa berenang juga.”
“Aldi… kamu memang nakal”, balas Hui Yong sambil mencubit pinggang Aldi. “Aku tidak mau jadi istri kamu sebelum keluarga kita saling mengenal dan menyetujuinya.”
“Oke… Ok…darling, sekarang kita kerumah saya. Saya akan kenalkan kamu ke Papi Mami saya”, sambut Aldi sambil mengajak Hui Yong berlalu dari alun-alun kapuas.


KELIMA

Sesampai dihalaman rumah keluarga Aldi, Hui Yong betul-betul merasa memasuki sebuah istana. Rumah bertingkat yang besar dengan
halaman taman rumah yang luas. Gaya arsitekturnya bergaya eropah
dan oriental dengan kombinasi cat rumah yang sangat serasi. Taman didepan dan samping rumah tertanam berbagai jenis tanaman mahal

24
dan tumbuh serasi. Rumah yang asri dan terawat baik oleh para tukang kebun dan pelayan rumah.
Setelah memarkir mobil, Aldi membukakan pintu mobil dan menuntun Hui Yong turun.
“Silahkan…Tuan Putri”, kata Aldi dengan gaya khas Don Juan yang masih tetap melekat pada dirinya.
“Ini berlebihan Aldi, kita hanya singgah sebentar dan saya belum siap bertemu orang-tuamu. Saya tadi mungkin larut dalam emosi, kita tidak lama-lama ya ?” balas Hui Yong yang setengah meminta persetujuan Aldi.
“Ya…ya… hanya kenalan saja”, balas Aldi sambil masuk kedalam rumahnya.
Ia membayangkan alangkah kontras bedanya rumah Aldi dengan tempat-tinggalnya. Aldi hidup bagai dalam istana, sementara ia tinggal di gubuk lebih tepatnya. Garasi mobil rumah keluarga Aldi kira-kira sudah sebesar rumahnya. Ia takut Aldi membanding-bandingkan rumah tempat tinggal Aldi dengan rumah tempat-tinggalnya. Ia hanya ingin memiliki cinta Aldi, tidak harta keluarganya. Ia takut Aldi salah paham lalu angin-angin cinta itu lenyap dalam diri Aldi selamanya.
Tak lama kemudian Aldi muncul dan sudah bersalin baju dengan
mengenakan T-Shirt dan celana Jeans. Papi dan Maminya muncul

25
belakangan.
“Pa… Ma…, ini Hui Yong teman sekelas. Pintar dan cakep juga kan Ma ?” kata Aldi agak manja ke Maminya sambil memperkenalkan Papi Maminya ke Hui Yong.
“Kamu juga harus pintar juga dong ? bisnisnya Papi nanti juga turun ke kamu dan abang-abangmu, agar papimu tidak pontang panting seperti sekarang”, balas Maminya Aldi.
Setelah basa basi tidak lama, Papinya Aldi tinggalkan mereka karena ada meeting dikantornya.
“Kamu bikinkan dong minuman untuk temanmu ini, siapa tadi namanya ?” pinta Maminya ke Aldi.
- “Hui Yong, tante !”
Ditinggalkan berduaan, Hui Yong merasa risih juga. Entah apa yang harus jadi topik pembicaraan. Yang jelas Hui Yong menggagumi kecantikan wajah wanita paruh baya yang duduk dihadapannya. Ada kemiripan dengan Aldi dan pantas juga Aldi tampan mukanya. Untungnya juga Mami Aldi pintar bicara dan kelihatan juga wanita yang sangat dominan dalam rumah tangga dan terkesan wanita yang keras juga perangainya.
Dari cerita Maminya Aldi, Hui Yong mengetahui keluarga mereka memiliki konsesi Hak Pengusahaan Hutan dan memiliki pabrik plywood.

26
Mereka adalah keluarga kaya raya di kota ini dan semua kekayaan itu berasal dari konsesi hutan yang mereka miliki.
“Kerja kayu bidang usaha yang keras. Harus berani dan pandai-pandai dengan petugas. Kerja kayu harus main kayu juga ibaratnya, Mental kita tidak boleh lemah”, kata Mami Aldi disela-sela pembicaraan.
“Kamu tinggal dimana dan usaha orang-tuanya apa ?” Tanya Maminya Aldi kemudian.
Rasanya sulit sekali bagi Hui Yong untuk menjawab. Haruskah ia berbohong atau jujur saja apa pekerjaan orang-tuanya yang jelas-jelas tidak sepadan dengan keluarganya Aldi ?
Untung Aldi muncul dengan minuman diatas nampan, “Buatan saya
sendiri, ditanggung enaaak !” puji Aldi pada dirinya.
Pembicaraan selanjutnya sudah didominasi Aldi dengan celutukan khasnya. Hui Yong merasa terselamatkan dengan ulah Aldi yang kadang manja, kocak dan ceplas-ceplosnya, sehingga ia tidak perlu menjawab pertanyaan Maminya Aldi.
Setelah meminum beberapa teguk minuman, Hui Yong minta pamit pulang dengan Maminya Aldi dan Aldi tentu saja telah siap menjadi supir pribadinya.
“Nanti berhentinya dimana … Non ?” Tanya Aldi berlagak seperti supir pribadi benaran setelah mobil sudah dijalanan.

27
“Aldi…, saya minta diturunkan dirumah Yanti saja nanti. Yanti nanti yang ngantar saya pulang. Kami ada urusan penting banget dan hanya boleh diketahui wanita saja”, balas Hui Yong, “boleh…ya, Al, kamu tidak marahkan ?” lanjut Hui Yong dan kini ia berani sun pipinya Aldi.
“Oke…oke…, Non, tidak mau ditungguin ?” balas Aldi.
“Tidak usah, … trims ya, Al”.
Hui Yong betul-betul merasa bersyukur atas pengertian Aldi. Sebetulnya ia tidak ingin Aldi mengetahui tempat-tinggalnya. Hui Yong merasa Aldi belum perlu secepatnya mengetahui kondisi keluarganya yang berbeda menyolok dengan keluarga Aldi.
Sampai dirumah Yanti, untunglah tuan rumahnya ada.
“Duduklah dulu Nyonya besar, entar saya bikinkan teh manis untukmu”, sambut Yanti sambil melayani pembeli ditoko orang tuanya. Senyumnya tak henti-henti karena ia tahu tadi yang mengantarnya adalah Aldi. Setelah pembelinya sudah sepi, Yanti mengajak Hui Yong kekamar belajarnya.
“Ada apa, nona manis. Gelisah sekali dan tumben kesini kan biasanya saya yang kerumah ?” Tanya Yanti setelah mereka rebahan
dilantai kamar belajar Yanti.
“Yan, tadi saya diajak Aldi kerumahnya dan diperkenalkan ke orang tuanya !”

28
“Wah........Heppy nya bisa ketemu camer secepat itu !” seru Yanti semangat.
“Malah aku gelisah, Yan. Kondisi keluarga Aldi dengan saya bak bumi dan langit. Baru sekali ketemu Maminya sudah tanya alamat dan pekerjaan orang tuaku”, jawab Hui Yong sendu.
“Kamu jawab apa?”, Kini Yanti tidak lagi rebahan, tapi bersila dengan muka serius.
“Itu yang saya bingung. Saya tidak jawab apa-apa karena Aldi keburu keluar dengan minumannya. Bukan saya malu dengan ibuku yang tukang bikin kue lalu dititip ke warung-warung dan bapakku yang tukang jahit. Aku bangga dengan mereka. Mereka susah payah menyekolahkan dan selalu mendorongku agar kelak bisa kuliah. Aku Cuma khawatir Aldi meninggalkan aku kalau tahu status sosial kami beda jauh”, jawab Hui Yong dengan kalimat yang tak putus-putusnya.
“Cinta itu tidak bisa dilihat oleh mata, tidak bisa didengar oleh telinga, tidak bisa diraba oleh tangan, hanya bisa dirasa oleh hati. Aku sayang dan cinta Aldi, Yan. Aku takut kehilangan dia”.
“Ya........ya, aku paham. Cuma aku terharu kamu puitis sekali. Apa memang semua orang jatuh hati begitu atau memang talentamu”, balas Yanti agar Hui Yong tegar dan tidak melankolis.
“Berjanjilah padaku nona manis. Kisah kasihmu sangat menarik dan

29
mungkin mengharukan”, jawab Yanti sambil memegang kedua bahu Hui Yong. “Kelak....entah itu kapan, kamu menuliskan kisahmu… ya, mungkin dalam bentuk novel gitu. Dengan bakat menulismu, aku yakin kamu bisa merangkainya menjadi jalinan cerita yang menarik
Kalau penerbitnya menolak novelmu, penerbitnya keterlaluan…”, lanjut Yanti kemudian.
“Dalam waktu dekat ini aku juga mau menulis cerpen. Aldi sudah tahu cerpen itu dipersembahkan untuknya”, balas Hui Yong.
“Baiklah…….baiklah, manis. Apa kamu tidak sadari sudah berapa lama kamu melanglang buana dan belum juga singgah kerumah sejak pulang sekolah?” jawab Yanti sambil berdiri dan memberi kode agar Yanti sudah saatnya mengantarnya pulang dengan sepeda motornya. “Jangan biarkan orang tuamu cemas dan menunggumu. Sekali lagi serahkan masalahmu kepada yang namanya Yanti Kusumawardani. Aku akan sambil berpikir bagaimana jalan keluarnya nanti, ok?”


********** O O O **********



30
Hari-hari sekolah selanjutnya seperti biasanya. Cuma seisi kelas sudah mulai tahu kalau sang pangeran Aldi telah jatuh hati kepada putri manis dan juga cantik yang selama ini tidak diliriknya. Sang pangeran sekian lama ini lebih terbuai kepada empat dara jelita karena mereka punya banyak waktu untuk memoles kejelitaannya.
Satu persatu teman sekelas lainnya seperti Agnes, Monita, Agus dan A kok dan lainnya diam-diam memberi salam temple, tanda ucapan selamat kepada Hui Yong. Tetapi siswa dalam kelas ini juga terpusat pikirannya untuk menghadapi ujian akhir semester dan Ebtanas yang tinggal dua bulanan lagi.
Pak Hendrik, sang wali kelas juga tidak bosan-bosannya menasehati
siswanya untuk lebih giat belajar. Betapa mulia dan besarnya jasa serta
kasih sayang terbersit meskipun Pak Hendrik menyampaikannya dengan intonasi suara yang keras, dan terkesan galak.
Beberapa hari yang lalu tepatnya pada ulang tahun Pak Hendrik yang ketiga puluh, mereka sekelas diam-diam mengumpulkan iuran dan dibelikan sepasang pulpen yang mahal dan terbungkus dalam bingkai kotak yang rapih. Pak Hendrik menerimanya dengan rasa haru dan tak kuasa juga mencucurkan air mata dihadapan siswanya. Semuanya larut dalam kesedihan dan keharuan. Diam-diam Hui Yong dan teman-teman lainnya tampak juga menyeka air-matanya ketika itu.

31
Dengan alasan ingin intensif belajar bersama, Aldi meminta agar ia bisa belajar dan bertandang kerumah Hui Yong pada malam harinya. Hui Yong salah tingkah sebab jalan keluar yang dijanjikan Yanti belum juga diperolehnya.
“Tempat-tinggalnya tidak perlu diberitahu, saya akan cari sendiri”, jawab Aldi karena Hui Yong belum juga memberi jawaban.
“Tahu dari mana alamatku ? rumahku susah dicari, nanti kesasar”, balas Hui Yong.
“Hui Yong…, kata Aldi menatapnya dalam-dalam, “ Saya tidak seperti yang kamu duga. Yanti sudah menceritakan semuanya pada saya. Saya tidak akan berubah. Yang kaya kan Papi Mami. Saya dan kamu sama, tidak ada bedanya “.
Seketika Hui Yong memeluk erat-erat Aldi. Aldi yang playboy, mbeling, kocak dan si bintang idola ternyata berhati mulia. Lain dari perkiraan bayangan Hui Yong selama ini. Pelukannya semakin erat, seolah tidak ingin sekejap Aldi lepas dari lingkaran tangan mungilnya.


********** O O O **********



32
Malam harinya, Aldi menepati janji dengan datang kerumah Hui Yong. Memang agak sulit dicari karena rumah keluarga Hui Yong terletak dalam gang sempit yang berhimpitan letak rumah satu dengan rumah lainnya. Bapak Hui Yong masih asyik mengengkol mesin jahit menyelesaikan hem kemeja langganannya, sedangkan ibunya sibuk didapur dengan seabrek adonan kue.
Memang kontras bedanya dengan rumah Aldi. Rumah tempat tinggal Hui Yong tersekat-sekat hanya oleh papan dan perabotan di ruang tamu juga sederhana. Rumah yang sempit itu juga dihuni oleh jumlah keluarga yang ramai. Abang Hui Yong yang sudah berkeluarga dan bekerja sebagai kepala tukang bangunan juga masih nimbrung tinggal bersama. Masih ada lagi dua adik Hui Yong yang masih kecil tampak bermain petak umpet dengan anak tetangga.
“Selamat malam, Bapak”, sapa Aldi ke bapak Hui Yong ramah.
“Malam”, balas lelaki yang tampak penyabar itu sambil mengangkat kepalanya.
“Saya temannya Hui Yong !”
“Al…,masuklah,” sambut Hui Yong dari balik gorden sekaligus penyekat ruang tamu dengan dapur mereka. Hui Yong nampaknya sudah berdandan sejak lama spesial menyambut kedatangan Aldi
pertama kali kerumahnya. Rambutnya sengaja dikepang dan ada jepitan

33
rambut yang menghiasinya. Pipinya dioles tipis dengan bedak sehingga wajahnya tampak cerah. Bajunya bukan baju mahal tapi trendi yang membungkus tubuh mungilnya.
“Kamu cantik malam ini,” bisik Aldi ketelinga Hui Yong seolah tidak ingin terdengar oleh siapapun.
“Gombal kamu, Al”, bisik Hui Yong dengan nada manja. Saya kenalkan yang itu Papa, itu Mama lagi sibuk bikin kue. Itu abangku
dan istrinya yang lagi nonton tivi. Didepan sana adik-adikku”.
“Wah…….adikmu lucu-lucu. Waktu kecil kamu pasti seperti itu”, gurau Aldi.
Hui Yong mencubit pinggang Aldi. Mereka tampak mesra tapi tidak sampai berangkulan seperti biasanya. Aldi menyalami mamanya Hui Yong, abangnya lalu kakak iparnya Hui Yong.
“Aduh…….mama, kuenya …….buaanyak sekali. Saya bisa sakit perut kalau memakan semuanya”, gurauan khas Aldi keluar lagi sambil memegangi perutnya seperti orang sakit perut betulan. Mamanya Hui Yong tersenyum mendengar gurauan dan mimik muka Aldi.
“Supaya tidak sakit perut makan beberapa saja. Bolu kukus dan bak paunya sudah matang. Hui Yong ambilkan beberapa untuk temanmu ini”, balas Mamanya Hui Yong.
“Eh…..tidak mama, saya hanya bercanda. Saya mau belajar bersama

34
Hui Yong malam ini”, jawab Aldi gelagapan dan tidak menyangka gurauannya dibalas betulan oleh Mama Hui Yong.
“Ah…….tidak apa-apa. Makanlah beberapa sambil belajar. Hui Yong kalau tidak sibuk belajar, juga suka membantu saya. Kalian pergilah belajar di ruang tamu”, kata Mama Hui Yong ramah.
Acara malam itu memang khusus untuk belajar. Otak Hui Yong yang encer seolah mudah sekali menangkap semua pertanyaan Aldi untuk bagian pelajaran yang tidak dimengerti Aldi. Hui Yong merasa sebetulnya Aldi juga lumayan otaknya. Mungkin tidak fokus dan disiplin belajar, Aldi tidak menempati rangking lima besar seperti dirinya.
Ya…..Aldi, selama ini kamu sibuk dengan empat dara jelitamu dan sekarang akan datang permaisuri supaya kamu tidak berkelana mencari pendampingmu. Diam-diam Hui Yong memperhatikan roman muka Aldi
yang sibuk mengerjakan soal matematika. Tidak sengaja Aldi mendongokan kepala karena ingin menanyakan ada bagian perkalian yang belum dimengertinya. Raut muka Hui Yong memerah dan hampir saja Aldi mencoba mengecup bibir mungilnya kalau tidak saja papa Hui Yong tiba-tiba melintasi masuk kedalam rumah.
“Jangan… Al, jangan disini, ada waktunya nanti”, kata Hui Yong sambil menutupi mukanya dengan buku pelajaran fisika yang

35
dipegangnya.
“Makanya… jangan curi pandang semesra itu dong !”, balas Aldi.
“Aku Cuma heran, kog tadi sudah memanggil Mamaku dengan panggilan Mama, kan baru kenal ?”
“Biasalah… pede kate dan cari perhatian. Masak mau lamar putrinya tapi cuekin Mamanya”, balas Aldi sambil meremas tangan Hui Yong.
Lalu mereka kembali sibuk belajar. Aldi tetap belajar matematika dan Hui Yong membuka pelajaran biologi dan kemudian pindah ke buku fisika. Setelah terdengar siaran “Dunia Dalam Berita” di TVRI yang dibacakan oleh Tuti Aditama, saatnya juga Aldi pamit pulang dengan seluruh keluarga Hui Yong.
Hui Yong mengantarnya sampai ketepi jalan dimulut gang yang rupanya Aldi memarkir mobilnya disitu. Kasihan Aldi, batin Hui yong dalam hati. Seandainya pacarnya adalah Isabella misalnya, tentu Aldi tidak perlu susah payah mencari tempat parkir mobilnya seperti malam ini. Tapi kelihatannya semua itu tidak menjadi masalah dan beban buat Aldi.
Dalam keremangan lampu jalan yang sudah mulai sepi, Aldi melumatkan bibirnya kebibir mungil Hui Yong. Hui Yong membalasnya dan ciuman pertama itu membawanya kealam mimpi.
Sampai saat hendak tidurpun bayang-bayang itu pun masih ada.

36
Mungkin Aldi sudah sampai dirumah dengan mimpi indahnya. Hui Yong sendiripun merasakan hal yang sama. Kasur dari kapuk yang biasanya terasa keras oleh badan Hui Yong malam ini terasa begitu empuk dan sejuk. Hui Yong merasa dapat menatap kerlap kerlip bintang diatas langit dari tempat tidurnya. Ditariknya selimut dan malam itu Hui Yong akhirnya tertidur pulas dengan penuh nuansa romantika cinta.


********** O O O **********


Beberapa minggu berselang, mimpi-mimpi indah Hui Yong buyar dengan cercaan amarah Abangnya sehabis pulang sekolah. Rupanya siang harinya Papi dan Mami Aldi bersama supirnya mampir kerumah.
Mereka sudah mengetahui ada hubungan istimewa anaknya dengan Hui Yong. Nampaknya Mami Aldi tidak senang hubungan asmara antara Aldi dengan Hui Yong. Semula Papi mami Aldi bersikap sopan waktu masuk kerumah keluarga Hui Yong. Tapi lama kelamaan Mami Aldi nampaknya gusar dan kegerahan karena yang dihadapinya Papanya Hui Yong yang sabar.
“Huuh…ini Bapak gimana sih, diajak ngomong cengengesan dan

37
senyum melulu”, kata Mami Aldi mulai emosi. “kami kesini minta Bapak dan Ibu sebagai orang tua nasehati anak perempuannya jangan rusak masa depan anak kami”, lanjut Mami Aldi dengan suara keras dan terdengar seisi rumah termasuk juga tetangga yang menyebabkan melongok-longok kedalam rumah.
Abang Hui Yong yang mendengar suara ribut serta ucapan Mami Aldi
menjadi naik pitam karena merasa orangtuanya dihina begitu.
“Heh…, omong itu pikir dulu, mana ada anak perempuan yang bisa merusak anak laki-laki. Bukannya anak Ibu dan Bapak ini yang bisa merusak adik saya ?” jawab abang Hui Yong sengit dan kini duduk diatas kursi kayu ruang tamu.
“Ooh… kamu abangnya dan lebih bisa bicara. Dengarkan ya, anak kami itu tamat SMA ini mau kami kuliahkan keluar negeri dan sudah ada calon istri. Pantesan saja kemarin saya Tanya keadiknya tinggal dimana dan orangtuanya kerja apa tidak mau menjawab, ternyata begini to ?”
Mendengar kata-kata Mami Aldi, Abang Hui Yong nampaknya tidak bisa menguasai diri lagi. Tangan-tangannya yang berotot karena bekerja sebagai kepala bangunan rasanya mau memukul roboh tamunya.
“Orang sombong keparat ! Pergi dari rumah kami ini. Kami memang miskin, tapi punya harga diri,” teriaknya sambil mendorong tubuh Papi

38
dan Maminya Aldi. “Mau pergi atau tidak, hah…..”, kali ini ia mengambil kursi yang didudukinya dan hendak dilemparkan kearah kedua tamunya. Untunglah bapak dan ibu Hui Yong mencegah dan supir pribadi keluarga Aldi juga ikut masuk.
“Tuan…dan Nyonya, ayo cepat kita pergi”, serunya sambil melindungi majikannya dari amukan Abang Hui Yong. Tetangga lainpun sudah banyak yang berkerumun didepan rumah.
Dengan kejadian tragis itu benar-benar ambruk sudah mimpi indah Hui Yong. Apa yang ia khawatirkan terjadi juga. Salah paham itu terjadi juga, bukan dari Aldi tapi dari orang tuanya Aldi. Hui Yong tidak mengira dan sangka jalinan itu begitu berbelit. Ia tidak menginginkan harta keluarganya Aldi, tapi cinta Aldi. Mereka salah paham dan merasa
malu punya menantu dari keluarga yang tidak selevel dengan mereka.
Kini bayang-bayang Aldi semakin jauh dan ia merasa kembali Aldi sudah susah digapai seperti dulu lagi.
Hui Yong menangis cecegukan dan air matanya berlinang seperti tidak mau henti-hentinya.
“Sudah……, jangan nangis. Dasar cengeng,” bentak Abang Hui Yong yang masih emosi. “Bertahun-tahun kita hidup tentram disini, dan tidak ada masalah. Bapak dan ibu dan juga saya yang menyekolahkan kamu. Ini balasannya?”

39
“AHong, sudah……sudah…,” Mamanya Hui Yong mencoba menenangkan anak pertamanya. “Masak marah dan emosi dari tadi siang sampai sekarang belum juga mau berhenti. Kasihan adikmu, dia tidak bersalah.”
“Saya tidak mau keluarga kita dihina tiba-tiba seperti itu Mama, memangnya kita dapat apa dari mereka. Saya mau Hui Yong menurut dan putuskan hubungan dengan anaknya orang sialan itu,” balas Abang Hui Yong. “Kalau masih nekat, lebih baik pergi dari rumah ini dan jangan kembali.”
Abangnya Hui Yong akhirnya dapat juga ditenangkan oleh istrinya. Kakak iparnya mendekati Hui Yong sambil memegang pundaknya. “Abang kamu itu sebetulnya sayang kamu. Selama ini kan juga jarang marah kamu. Cuma orangnya mudah tersinggung kalau dihina. Kamu juga tahukan pekerjaannya berhadapan dengan tukang dan kuli bangunan, jadi wataknya menjadi keras begitu. Sekarang ganti baju, habis itu makanlah dulu.”


********** O O O **********



40
Retaknya mimpi-mimpi indah Hui Yong disertai rasa hina tidak cukup sampai distu saja. Papi dan Maminya Aldi kini berbalik menjadi tersinggung dan merasa terancam dengan sikap Abangnya Hui Yong.
Besoknya dengan ditemani seorang polisi mereka mendatangi sekolah dan ingin berbicara langsung dengan Hui Yong sendiri. Ternyata juga Papinya Aldi adalah donatur tetap dan besar disekolah. Dari Ketua Yayasan, Kepala Sekolah sampai guru-guru lain meluangkan waktu menyambut kedatangan mereka. Hui Yong sengaja dipanggil dari ruang kelas dengan didampingi Bu Agustina dari bagian bimbingan dan konseling sekolah.
“Hui Yong…, kamu tenang dan sabar ya, nak. Bapak dan Ibunya Aldi ingin bicara dengan kamu diruang dewan guru”, kata Bu Agustina sambil membuka pintu ruang dewan guru.
Didalam ruangan sudah penuh guru-guru lainnya serta orangtuanya Aldi dan ditemani seorang polisi yang diperkenalkan dan benama Sugondo. Hui Yong benar-benar merasa disidang dan dialah sebagai pesakitan atau terdakwa yang dengan diam tak berdaya menerima semua nasehat serta vonis keinginan orangtua Aldi.
Hui Yong tertunduk lesu dan sesekali hanya bisa menghapus air matanya. Untunglah Bu Agustina tetap setia menemani dengan duduk disampingnya sambil mengelus-elus rambut dan pundaknya.

41
“Saya kira cukuplah Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu nasehat kita”, akhirnya Bu Agustina bersuara lantang memotong nasehat guru serta ocehan orangtuanya Aldi. “Masa remaja harus kita pahami seperti ini dan ada anak-anak kita yang saling jatuh cinta itu biasa”.
“Tapi Bu, masa depan anak saya masih panjang dan penuh harapan dan cita-cita, masak harus kandas dengan cinta anak muda seperti
ini ?” balas Maminya Aldi.
“Saya tahu Ibu, seandainya Aldi menjalin cinta dengan anak lain sikap Ibu seperti ini juga ? Cinta itu kan keinginan dua pihak, seharusnya Aldi sekarang ini kita panggil kesini juga”, balas Bu Agustina sengit. Tapi kerlipan dan tatapan mata Ketua Yayasan menyebabkan ia menahan-nahan emosinya juga.
“Begini sajalah, Bapak Lim Theng Huat dan Ibu. Kami mohon maaf atas kejadian-kejadian ini. Nasehat-nasehat dari saya selaku Ketua Yayasan, Kepala Sekolah serta guru-guru lainnya rasanya memang sudah. Kalau Bapak dan Ibu secara khusus mau berbicara dengan Hui Yong dari hati kehati, kami sediakan ruang khusus disebelah ruangan ini”.
Maminya Aldi setuju usulan itu dan ia mengajak suaminya ikut keruang sebelah. Bu Agustina yang hendak menemani Hui Yong ditolak oleh Maminya Aldi.

42
“Bu Guru, mungkin kamu guru baru disini. Suami saya ini banyak sumbangan untuk pembangunan disekolah ini. Kalau kami diperlakukan seperti ini, kami menarik diri dan sumpah tujuh turunan anak cucu kami tidak akan sekolah disini”, kata Maminya Aldi gusar. Bu Agustina mundur teratur dan melepas Hui Yong masuk keruang sebelah untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Menghadapi sikap Hui Yong yang serba diam seribu bahasa, Maminya Aldi mengubah taktik dengan kata-kata membujuk bahwa mereka masih terlalu muda dan lebih baik saling melupakan saja.
“Lagi pula, saya lihat margamu sama juga dengan marga Aldi yang sama-sama marga Lim dan nama lengkapmu Lim Hui Yong, kan ?”
“Ya…, Bu. Tapi saya mencintai Aldi bukan karena harta kalian”, balas Hui Yong dengan nada lemah.
“Kalau marganya sama, namanya Thang Se (satu marga) dan kalau
diurut dari nenek moyang leluhur, kamu dengan Aldi masih saudara, gimana kalian bisa saling mencintai ?’ kali ini Papinya Aldi yang bersuara.
“Begini saja Papi, kita habiskan waktu saja disini. Kita kasihkan saja uang yang kita bawa tadi !”
Lalu ia keluarkan segepok uang yang terbungkus dalam amplop dari dalam tas tangan mahalnya dan diserahkannya ke Hui Yong.

43
“Nah… ini, uang ini kasih kamu dan keluargamu. Tapi sekali lagi putuskan hubungan dengan Aldi”.
“Sumpah… Bu, saya hanya cinta Aldi bukan uangnya !”
“Ala… cinta… cinta … dan pura-pura malu lagi. Perlu juga kamu ketahui juga ya, Aldi itu bukan anak kandung kami dan kalau kamu kawin dengan Aldi, Aldi bukan ahli waris kami dan kamu tidak akan dapatkan apa-apa. Nah…, sekarang ambillah saja”, kata Mami Aldi sambil memaksa Hui Yong menerima uang dalam amplopnya.
Hui Yong menolak keras, tapi Papi dan Maminya Aldi tidak peduli dan beranjak pergi keluar ruangan begitu saja. Uang dalam amplop itu Hui Yong serahkan ke Bu Agustina dan Bu Agustina dengan susah payah membujuk agar uang itu mau diambil kembali oleh mereka.


********** O O O **********

Berbeda dengan orang tuanya, Aldi yang merasa ditentang habis-habisan hubungannya dengan Hui Yong malah menjadi nekad dan semakin dalam cintanya kepada Hui Yong. Hal itu dibuktikan ketika ujian akhir semester serta ebtanas telah berakhir, tiba-tiba ide gila muncul dalam pikirannya.

44
“Hui Yong…, cintaku tidak berubah meskipun banyak hal buruk telah terjadi. Papi dan Mamiku memandangmu sebelah mata dan Abangmu juga mencoba memukul Papi dan Mamiku. Tapi yang menjalani hidup ini kan kita berdua. Sungguh-sungguhkah kamu mencintaiku ?”
“Iya…, kita sekarang ini sudah tamat SMA, kita sudah dewasa. Cintaku tetap sama”.
“Baiklah… Hui Yong, sekarang saatnya kita yang menentukan pilihan hidup kita. Aku mengajakmu ketempat lain dan kita akan rencanakan menikah !”
“Ini gila Aldi, kita tidak punya uang dan juga tidak tahu harus kemana ?”
“Cobalah pikirkan suatu tempat yang jauh dari kota ini, saya akan bawa tabungan saya !”
Hui Yong berpikir keras dan dalam kebuntuannya ia menemukan tempat yang cocok untuk pelarian mereka.
“Aldi…”, serunya gembira. “Kita ketempat Kakek dan Nenekku didesa Sungai Jaga, tempatnya kira-kira tiga ratus kilo meter dari kota kita ini !”
Rencana kedua sejoli inipun disusun. Hui Yong pamitan ke
orangtuanya dengan alasan kemping perpisahan sekolah. Tapi bersama-

45
sama Aldi dengan naik angkutan bis menuju ketempat kakek-neneknya. Kakek-Neneknya merasa gembira dengan kedatangan cucu disertai temannya.
Kehidupan suasana didesa berbeda dengan hidup dikota, namum Aldi dan Hui Yong menemukan kedamaian dan kebersamaan yang tiada tara. Dari menjelang pagi, siang, sore sampai malam haripun mereka bisa bersama-sama.
“Akhirnya mimpi indah ini bisa terwujud Aldi !”
“Iya… karena kita nekad dan berani hadapi persoalan kita dengan mandiri”
“Mandiri… hah…? Aldi kamu betul-betul sudah dewasa dan siapkah menjadi seorang suami ?” olok Hui Yong sambil rebahan dipangkuan Aldi diteras rumah dikala menjelang malam telah sepi. Kakek Neneknya nampaknya telah kelelahan tertidur terbuai mimpi setelah dari siang tadi merawat kebun jeruknya.
“Aldi… lihatlah kerlap kerlip bintang dilangit diatas kita. Waktu dulu seolah saya dapat melihatnya tatkala hendak tidur, kini saya benar-benar langsung dapat menatapnya”.
Aldi membelainya dengan mesra dan tidak susah juga kedua tangannya bebas bergerak diantara tubuh Shinta dalam dekapannya.
“Kapan kamu dapat melihat kerlap kerlip bintang hanya dari tempat

46
tidur saja ?” kini Aldi yang berbisik mesra.
“Waktu ciuman pertama !”
“Sekarang kamu dapat peroleh tidak sekedar ciuman saja”, bisik Aldi tambah mesra.
Kedua-duanya merasakan angin surga yang tiba-tiba datangnya. Entah siapa yang memulai dan dalam keremangan yang diselingi desiran angin malam, keduanya tenggelam dalam permainan yang penuh gejolak birahi dan baru tersadar apa yang dilakukan barusan belumlah waktunya.
Mata keduanya sembab karena air mata, ada rasa cinta dan bahagia juga ada rasa sesal entah harus bagaimana. Surga cinta itu datang begitu cepatnya dan kini mereka seolah bagai Adam dan Hawa yang tidak patuh, malah memakan buah terlarang yang diharamkan untuk dicicipi karena belum waktunya.
“Saya akan bertanggung-jawab dan bukankah dalam pelarian kita ini kita hendak menikah ?” kata Aldi menenangkan dan menentramkan kekasihnya yang nampak amat cemas dan gelisah.

********** O O O **********



47
Rencana tinggal rencana, sekian lama Aldi dan Hui Yong yang tiba-tiba raib entah kemana, membawa kecemasan dan saling tuding serta saling curiga diantara keluarganya.
Siang hari itu, Papi dan Mami Aldi dengan ditemani Sugondo yang polisi datang lagi ketempat tinggal keluarga Hui Yong. Mereka curiga Abang Hui Yong yang bertemperamen kasar telah merancang skenario hendak memeras mereka.
“Sekarang katakan, kemana kamu menyembunyikan mereka …hah ?” kata Sugondo dengan suara lantang sambil menarik krah baju Ahong Abangnya Hui Yong yang pas sedang berada dihalaman rumah.
“Sembunyikan apa… ? justru saya yang bertanya kalian sembunyikan adik saya dimana ?” balas Ahong tidak mau kalah. Merasa ditantang Sugondo merasa tidak senang dan menjadi berang.
“Hei… jaga mulutmu, kalau mau sok jagoan saya ladeni kamu”, kata Sugonda beringas sambil tiba-tiba melayangkan pukulan disertai terjangan keras dan seketika Ahong jatuh terhuyung-huyung dibuatnya.
Tetangga lain dan teman-teman Ahong datang membantu Ahong untuk berdiri dari jatuhnya. Kali ini Ahong merasa seperti tidak berdaya, seluruh badannya terasa sakit dan mulutnya mengeluarkan bercak darah.
“Beraninya cuma melawan dan memojokkan orang kecil seperti kami

48
dan bawa-bawa polisi segala !”
“Saya kesini temani Pak Lim Theng Huat dan istri hanya sebatas teman saja. Kalau mereka mau melapor secara resmi atas insiden mau dilempar dengan kursi segala, kamu sudah ditahan dari kemarin-kemarinnya”, kata Sugondo masih dengan emosi. “Dasar bajingan tengik miskin, jangan coba-coba memeras mereka”.
“Saya tidak mengerti maksud Bapak, kami sekeluarga juga kebingungan mencari adik kami yang hilang”, kata Ahong sesekali menyeka darah yang masih keluar dari mulutnya.
“Jangan berlagak pilon dan bloon lah”, kata Mami Aldi yang merasa diatas angin dan dilihatnya Ahong nampak tidak berdaya dan mulai bersikap mengalah, tidak seperti tempo harinya. “Masalah ini bisa jadi rumit dan tidak sederhana. Kami kasih kamu tempo seminggu untuk mengeluarkan anak saya “.
Lalu mereka pergi begitu saja. Sementara kerumunan tetangga dan teman-teman Ahong semakin bertambah. Mereka membantu membersihkan darah yang keluar dari mulut Ahong, begitu juga istrinya Ahong yang bertanya berkali-kali kesuaminya apakah dia tidak apa-apa. Sedangkan kedua orangtuanya yang sabar dan baik hati hanya bisa duduk termangu dan menahan malu dengan tetangga atas kejadian ini yang begitu tiba-tiba dan tidak pernah mereka duga.

49
“Ini semua salah Hui Yong, Papa dan Mama jangan terlalu membelanya”, kata Ahong kepada kedua orangtuanya kemudian.


********** O O O **********


Masalah ini memang bukan masalah biasa. Ada pengusaha kayu kaya dengan dibekengi oknum polisi melakukan pemukulan terhadap warga, kira-kira begitulah berita dikoran yang diliput oleh wartawan dan
beredar luas diseluruh propinsi kota. Ada juga wartawan lain yang menaruh simpati dan meminta keluarga miskin ini lebih terbuka mau menceritakan apa yang terjadi. Ahong menjadi sumber utama berita dan fotonya termuat dikoran sebagai konsumsi berita.
Berita dimedia massa sempat juga terbaca oleh Hui Yong dan Aldi dari pelariannya. Hui Yong begitu cemas dengan kondisi Abang dan keluarganya. Mereka memutuskan untuk secepatnya kembali kerumah masing-masing.
Setiba dirumah, Hui Yong disambut amarah besar Ahong dan hampir saja ia menempleng wajah adiknya kalau saja istrinya beserta kedua orangtuanya tidak buru-buru mencegahnya.

50
Kemelut dalam keluarga Hui Yong sampai juga ke Tante beserta suaminya yang tinggal di Jakarta. Mereka begitu prihatin, sampai-sampai menyempatkan diri datang ke Pontianak untuk menjenguk keadaan rumah tangga kakak perempuan satu-satunya yang masih satu saudara.
“Ahong……Ahong…, kenapa kamu begitu emosi menanggapi ini semua ?” Tanya tantenya sambil geleng-geleng kepala seolah tidak mengerti jalan pikiran keponakannya. “Kalau kalian merasa miskin dan dihina tunjukkan pembelaan dengan cara yang terhormat, tidak dengan emosi yang membabi buta”, nasehat Tantenya kemudian disela-sela acara makan malam keluarga di restoran yang disponsori oleh Tantenya.
“Hui Yong sudah saya nasehati untuk tidak berhubungan dengan anak mereka, tapi malah melarikan diri entah kemana, ini yang membawa masalah”, jawab Ahong sambil menyendok makanannya.
Yang lainnya seperti orangtua Hui Yong, kakak ipar, suami tantenya, kedua adik Hui Yong serta Hui Yong sendiri juga asyik menyantap
hidangan didepannya. Keluarga Hui Yong jarang bahkan tidak pernah
makan di restoran semahal ini. Diantara kepedihan hatinya, Hui Yong merasa kelak dia ingin kaya dan berguna.
“Ya…, seandainya kalian keluarga kaya masalah ini juga tidak
pernah ada. Tapi sayangnya dari Kakek Nenek kalian juga bukan orang

51
kaya meskipun punya kebun dan tanah didesa”, jawab Tantenya.
Makan malam bersama ini diselingi juga dengan rapat keluarga. Tantenya yang sudah mapan hidup di Jakarta berkeinginan agar keluarga Hui Yong tinggal bersama dengan mereka di Jakarta. Mamanya Hui Yong menolak dengan halus dan tidak ingin merepotkan keluarga adik perempuannya dan mereka ingin tetap tinggal di Pontianak saja.
Tapi permintaan adiknya agar Hui Yong tinggal bersama mereka dan melanjutkan kuliah di Jakarta, kiranya sebuah solusi yang cukup bijaksana.
Namum Hui Yong merasa agak ragu dan hidup ini dirasakan begitu cepat jalannya. Rasanya kemarin dia masih duduk di SMA lalu jatuh cinta dengan Aldi dan telah mengorbankan sesuatu yang paling berharga dimilikinya sebagai wanita. Kini tiba-tiba datang tawaran tinggal bersama tantenya dan akan melanjutkan kuliah di Jakarta. Bayang-bayang cintanya kepada Aldi dan apa yang telah dilakukan bersama timbul tenggelam. Akan tetapi pergulatan batin dan perjuangannya untuk mencapai cita-cita mengangkat derajat keluarga mengalahkan ego dirinya. Hatinya terasa mantap untuk menerima ajakan Tantenya ke Jakarta.



52
KEENAM

Setelah di Jakarta, atas saran Tante dan suaminya, namanya berganti dari Lim Hui Yong menjadi Shinta Gunawan. “Agar kelak kamu berguna bagi keluargamu”, begitu kira-kira usulan suami Tantenya ketika menambahkan nama Gunawan dibelakang namanya.
Fakultas yang dipilihnya juga atas usulan suami Tantenya yakni Fakultas Hukum. “Selesai Sarjana Hukum kelak kamu bisa jadi Hakim, Jaksa, Pengacara atau melanjutkan pendidikan Notaris sekalipun, saya dan Tantemu akan mendukung selama kamu mau kuliah”.
Kebaikan dan kemurahan hati Tante dan suaminya bagaikan anugerah bagi Shinta. Ini memang tidak terlepas rasa kasih sayang Mama Shinta terhadap Tantenya sejak kecil, remaja hingga melepas keberangkatan untuk pertama kali Tantenya mengadu nasib ke Jakarta waktu dulunya hingga hidup mapan dengan berbagai jenis usaha. “Ini balas budi saya, tapi selama ini Mamamu selalu menolak bantuan dari saya”, kalimat ini sering diucapkan Tantenya berulang kali.
Semester lewat semester dibangku kuliah selalu dilalui Shinta dengan nilai indek prestasi yang memuaskan hatinya. Materi pengantar ilmu hukum, hukum pidana, hukum perdata maupun materi kuliah lainnya dicernanya dengan mudah.

53
Lama kelamaan bayang-bayang muka Aldi beserta masa lalunya seolah mulai sirna. Namum satu hal yang pasti hati Shinta bagaikan tertutup salju beku terhadap setiap lelaki teman kuliah yang berusaha mendekatinya. Parulian, Wiratno, Andreas hingga Feri Mondro mundur teratur karena merasa sulit menaklukan hati Shinta.
Perasaan inipun terus berlanjut hingga Shinta memperoleh gelar strata satu Sarjana Hukum yang kemudian dilanjutkan kejenjang pendidikan notarisnya.
Setelah selesai pendidikan notaris, Shinta bekerja sambil magang dikantor notaris di Jakarta. Akhirnya surat pengangkatan sebagai Notaris diperolehnya juga dengan susah payah dari Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia.
Tante dan suaminya merasa tidak sia sia menyokong kuliah Shinta selama ini. Kebanggaan, rasa haru dan bahagia sangat tercermin dari kedua orang tuanya serta abangnya waktu menghadiri wisuda pendidikan notaris Shinta di Jakarta maupun sewaktu acara pelantikan sebagai notaris di Pontianak yang wilayah kerjanya sesuai pilihan Shinta. Keteguhan hati serta perjuangan tidak pernah sia-sia, Shinta telah membuktikannya.



54
KETUJUH

Shinta kini memang bukan Shinta yang seperti masa lalunya. Semua itu dijalani dengan tidak emosi tetapi karena pendekatan ke Maha Pencipta, giat belajar dan juga karena kebaikan hati serta kesabaran kedua orangtuanya.
Beberapa tahun silam, Kakek Neneknya yang telah berusia senja telah pergi untuk selama-lamanya. Tanah harta peninggalan mereka yang tadinya tidak berharga, karena maraknya investasi pertambakan menjadi tanah emas yang berani dibeli oleh investor dengan harga yang
berlipat-lipat ganda. Tantenya yang murah hati menyerahkan sebagian
besar bagian warisannya kepada Mamanya Shinta yang kedua-duanya merupakan ahli waris dari Kakek-Neneknya.
Ini memang berkah. Keluarga Shinta tidak menyangka dan tiba-tiba mereka sekeluarga tidak lagi miskin harta seperti dulunya. Shinta dipercaya oleh keluarganya untuk memanfaatkan uang pembagian hasil penjualan tanah warisan dengan sebaik-baiknya.
Yang pertama-tama dilakukan Shinta ia membelikan rumah tempat tinggal yang layak dan bagus untuk keluarga mereka. Mamanya juga tidak perlu banting tulang membuat kue lalu dititipkan kewarung-warung dan Papanya tidak perlu juga seharian duduk didepan mesin

55
jahit mengerjakan baju langganannya. Semua usaha itu di stop sebagai gantinya mereka sepakat membeli tanah perkebunan dipinggir kota dan ditanami dengan berbagai jenis tanaman buah agar dapat dimanfaatkan hasilnya.
Untuk Abang beserta keluarganya, Shinta membelikan ruko dan jadilah Ahong Abangnya sebagai tauke penjual bahan bangunan dan tidak perlu menjadi kepala tukang bangunan lagi. Sisa uangnya adalah berupa tabungan dan deposito untuk hidup sehari-hari dan untuk masa depan kedua adiknya yang masih sekolah. Shinta sendiri membeli sebuah bangunan yang kini menjadi kantor notarisnya.
Begitulah hari demi hari Shinta menjalani tugas jabatannya sebagai Notaris dan sampai ia pada hari itu sekonyong-konyong dan tidak diduga, Aldi beserta keluarganya melakukan transaksi jual beli perkebunan sawit dikantornya.
“Bu… Bu… Shinta, kami mau pamit pulang duluan ya ?” suara Tanti dan Yanto bersamaan yang keduanya karyawan notaris dikantornya tiba-tiba membuyarkan lamunan panjang mengenai masa lalunya.
“Eeh… iya… ya, Tanti dan Yanto, kalian pulang duluan ya ? Pak
Achmad security kita masih ada kan ya ?”
“Masih Bu, Ibu tidak apa-apa ?” Tanya Tanti.
“Tidak… tidak, Tanti dan Yanto, Ibu Cuma terharu, kalian begitu

56
baik”, balas Shinta menyembunyikan perasaan hati sesungguhnya.
Kehadiran Aldi beserta keluarganya hari ini yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka dikantornya menyisakan kepedihan dan kesedihan, tapi ada juga rasa rindu pada cinta pertamanya. Hati yang beku dan seperti telah terbalut salju tebal seakan mencair dan ia ingin selekasnya mengetahui misteri Aldi dan keluarganya selama ini yang sebetulnya sudah ia kubur selama-lamanya.


KEDELAPAN

Pucuk dicinta ulam tiba, beberapa hari kemudian Aldi muncul sendirian diruang kerja Shinta. Shinta gelagapan sama seperti ia menghadapi Aldi saat meminjamkan buku catatan matematika pada masa SMA dulunya.
Bedanya saat ini, dalam hatinya bergejolak rasa benci, rasa sedih dan pilu, rasa ingin tahu dan ada juga rasa rindu. Kini mereka sudah sama-sama amat dewasa dan Shinta tidak ingin tertipu dengan gelombang asmara yang sama.
“Hui Yong…”, Aldi mencoba membuka pembicaraan.
“Panggil saya Shinta saja, nama Hui Yong adalah masa lalu saya”.

57
“Ba… baiklah… Shinta. Saya tahu kamu pasti amat membenci saya dan Papi Mami saya. Tapi ketahuilah, sejak saat kita berpisah saya berusaha mencarimu kemana-mana dan surat-surat yang saya kirim
tidak pernah saya terima balasannya”.
“Kalian keluarga kaya raya dan Papi Mamimu malu bermenantukan saya. Ketahuilah Aldi saya betul-betul merasa dihina dengan sikap orangtuamu !”
“Orangtuaku…, Shinta ?” kata Aldi sambil membetulkan duduknya.
“Saya datang menemuimu kembali atas nama cinta. Saya tahu waktu dulu kita saling cinta bukan karena harta, masih ingatkah kamu Shinta ?”. Ada rahasia yang belum kamu ketahui Shinta !”
“Rahasia…, rahasia apa ?”
“Papi dan Mami bukanlah orangtua kandungku sebenarnya, saya hanya anak angkat mereka. Orangtua kandungku adalah adik perempuannya Mami. Saya diadopsi waktu kecil karena Papaku meninggal dunia dan Mama merasa tidak mampu dan mencemaskan masa depan bayinya dan saya dijadikan anak angkat mereka”.
Samar-samar Shinta teringat ucapan Mami Aldi waktu diruang dewan guru dulunya bahwa Aldi bukanlah anak kandung mereka. Ada rasa bimbang dalam diri Shinta, waktu dulu Maminya Aldi berbohong mengenai status Aldi atau kini Aldi hanya bersandiwara ?

58
“Saya tidak tega berbohong Shinta, saya ingin kejelasan statusmu saat ini apa kamu sudah menikah atau belum. Saya ingin bertanggung-jawab atas perbuatan masa lalu saya”.
“Lalu kamu sendiri bagaimana ? bukankah kamu mau disekolahkan keluar negeri dan sudah ada calon istrinya ?”
“Kalau itu bohong semua, setamat SMA saya ke Palangkaraya membantu usaha Papi Mami yang mempunyai usaha konsesi hutan beserta pabrik plywood disana. Mereka memang baik dan sayang saya, tapi tidak soal harta”.
Shinta termenung dan ia merasa yakin Aldi tidak berbohong dan mengungkapkan apa adanya. Bukankah Aldi yang dikenalnya adalah Aldi yang berhati mulia dan yang menancapkan sembiluh masa lalu
ke hati Shinta adalah orang yang dipanggil Papi Mami, tapi tidak oleh Aldi ?
Rasa kasihan dan kangen tiba-tiba menyergapnya dan mungkin perasaan seperti itu ada dalam hati Aldi pada waktu dulunya.
Dipandangnya dalam-dalam Aldi yang duduk dihadapan meja kerjanya. Pria yang dulu di idola dan diidamkannya dulu tampak kurus dan pikirannya kusut.
“Al… Aldi…, saya belum menikah dan tidak terbayangkan untuk menikah sejak kita berpisah”.

59
Aldi meremas tangan Shinta, sama seperti ia meremas tangan mungil itu ketika mereka belajar bersama waktu di SMA. Tiada terasa keduanya matanya basah dan ada senyum terkembang seolah ada beban berat yang terlepas dari pundak mereka.
“Bagaimana Papi Mamimu Aldi, akankah mereka kembali menentang keras hubungan kita ?”
“Saya yakin tidak Shinta, yang menentukan segalanya sekarang adalah saya sendiri dan saya sudah dipertemukan kembali dengan Mama kandung saya. Kemarin saya sudah cerita ke Mama dan beliau ingin menimang cucunya kalau kita kelak punya anak setelah menikah”.
“Bagaimana dengan Pak Lim Theng Huat, istri dan keluarganya yang selama ini kamu panggil Papi Mami dan sudah merupakan keluargamu sendiri, akan kamu tinggalkan begitu saja ?”
“Tidak Shinta, mereka terlalu sombong dan serakah harta. Pihak yang berwajib dan Negara yang akan mengurus mereka”.
“Kenapa… Aldi, ada apa dengan mereka ?”
“Mereka terlibat illegal logging atau pembalakan liar hutan di Palangkaraya dan terlilit hutang bank yang tidak sedikit jumlahnya. Uang hasil penjualan perkebunan kelapa sawit yang nilainya duaratus milyard rupiah kemarin tidak akan mampu menyelesaikan masalah besar mereka”.

60
“Kasihan…mereka !”
“Bisnis dan kekayaan Lim Theng Huat Papi Mami saya beserta keluarga hancur sudah. Mereka masuk dalam daftar pencarian orang atau DPO oleh Mabes Polri dan Polda Kalimantan Tengah serta diburu pihak bank agar menyelesaikan kredit macet mereka”.
“Bagaimana dengan kamu sendiri Aldi, apakah kamu tidak merupakan bagian dari mereka ?”
“Tidak Shinta, saya sudah lama mandiri dan hanya sekedar menemani mereka saja. Saya punya usaha sawmill kecil-kecilan tapi legal usahanya. Jadi tidak perlu kamu memandang saya anak keluarga kaya raya. Dari dulu kamu dan saya sama, tidak ada bedanya. Ingatkah kamu ucapan saya waktu dulu-dulunya ?”
Shinta merasa mengingat semuanya. Perlahan sembiluh yang pernah menusuk dan mensayat-sayat hati dan perasaan perjalanan cinta masa lalunya seolah terobati sudah. Sembiluh masa lalu itu membawa hikmah.


********** O O O **********



61
Sore harinya Shinta dan Aldi memutuskan kealun-alun kapuas. Kini yang menyetir adalah Shinta. Mereka seakan ingin mengenang kembali momen pertama kali saling melabuhkan hati dan cintanya.
Alun alun kapuas masih seperti dulu. Kapal-kapal barang Jakarta tetap setia membuang sauh dan berlabuh ditengah sungai dan lalu lintas speed boat, tugboat serta sampan-sampan kecil tradisional yang terayun-ayun dipermainkan tempias ombak sungai merupakan pemandangan sore hari yang menarik serta indah.
Shinta dan Aldi berjalan berangkulan dan berhenti ditepi sungai. Hembusan angin kencang menyambut mereka.
“Shinta, ada satu janjimu yang belum kamu penuhi saat kita berdua disini dulunya”.
“Oh… ya, janji apa itu, Al ?”
“Dulu kamu berjanji menulis cerpen untukku. Saya cari-cari di majalah dinding sekolah, cerpen itu tidak ada. Jalinan ceritanya pasti sudah beda sekarang, karena sebetulnya saya juga bukan anak orang kaya. Apakah kini keluargamu justru yang akan menolak saya ?”
“Aldi… Aldi…”, suara Shinta lirih. “cerpen itu memang tidak ada, tapi yakinlah siapapun yang membaca novel ini adalah jalinan kisah cinta kita. Orangtua dan keluargaku sudah kuberitahu, mereka tidak menolak hubungan kita”.

62
Aldi menatap Shinta dengan haru. Calon istrinya telah melewati masa lalunya dengan tidak mudah dan tidak tersisa rasa dendam dalam hatinya. Cintanya benar-benar murni dan bahkan kini Shinta memeluknya dengan erat dan tidak ingin kehilangan Aldi yang dicintainya.
Buat Shinta, dunia boleh terbalik tapi cintanya tidak akan padam selamanya.



S E L E S A I

Rabu, 25 Juli 2007

Mengenal Golongan Penduduk Indonesia

Oleh: Heryanto, SH, M.Kn

Seperti pepatah “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”. Begitu juga dengan aneka ragamnya penduduk Negara kita yang konon terdiri lebih dari 400 suku bangsa dan tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan corak adat istiadat yang khas dan berbeda satu sama lainnya yang merupakan khazanah kebudayaan yang tiada ternilai harganya.
Dalam wilayah yang sangat luas ini, adat istiadat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercaya sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah.
Lebih daripada itu, menurut penyelidikan Van Vollenhoven maupun sarjana-sarjana lainnya, adat istiadat Indonesia tidak sebatas daerah hukum persada Indonesia serta tidak saja bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia saja, tetapi juga tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Filipina dan Taiwan di sebelah Utara di pulau Malagasi (Madagaskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai di kepulauan Paska yang dianut serta dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti etnik.
Melihat begitu banyaknya suku bangsa penduduk serta betapa luasnya wilayah Negara kita tak ayal kita hidup berbaur dalam berbagai budaya, adat istiadat, karakter serta kultur sosial yang berbeda antara satu suku bangsa penduduk dengan suku bangsa penduduk lainnya dalam Negara kita.
Apakah kita perlu takut hidup dengan berbagai perbedaan itu? Tentu saja tidak. “Beda itu indah”, seperta kata A’a Gym. Kalau kita semuanya sama, akan timbul rasa bosan yang tiada batas tiada ujungnya, karena beda itulah, setiap pagi kita mendapat rahmat bisa menyaksikan terbitnya matahari dan menikmati tenggelamnya sang surya di balik batas cakrawala menjelang senja.
Kerena beda jugalah, kita kenal ada lembah sebagai kebalikan dari kebukitan atau pegunungan. Adanya jenis kelamin laki-laki yang berbeda dari perempuan, adanya bangunan gubuk yang berbeda harga ekonomianya dengan gedung pencakar langit, adanya susah dan senang, sehat dan sakit, kaya dan miskin dan masih ada seribu satu perbedaan lagi.
Begitu juga dalam berbangsa dan bernegara dalam masyarakat kita. Kultur budaya Wong Solo beda dengan orang Medan, Andi yang dari Sulawesi berbeda perangainya dari Koko David maupun Cece Natalie yang dari etnis Tionghoa. Ritual keagamaan yang dilakukan Made dari Bali beda dengan Marcelia kekasihnya yang berasal dari Nusa Tenggara. Aksennya Bang Mandra dari Betawi kentara bedanya dari Basoefi yang Arek Suroboyo maupun dengan Fitriyani yang berasal dari Kabupaten Sambas yang rumpun Melayu.
Beragam perbedaan suku bangsa penduduk Negara kita sesungguhnya adalah suatu berkah dan maha karuia bila kita dengan pikiran positif dan terbuka menerima dan mengelolanya baik itu untuk penelitian buat seorang Antropolog, pengambil kebijakan pemerintah, bakal calon Kepala Daerah yang lagi hangat-hangatnya saat ini sampai buat seorang Notaris sebagai Pejabat Umum.
Bagi seorang Anthropolog yang mempelajari beraneka suku-suku bangsa ternyata didapati suku bangsa penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai akan berbeda temteramennya dengan suku bangsa penduduk yang tinggal di dekat daerah pegunungan. Sedangkan bagi pengambil kebijakan, beraneka ragam suku memudahkan mensosialisasikan maupun menerapkan kebijakan program yang telah dibuat. Bagi seorang calon Kepala Daerah, beraneka ragam suku bangsa penduduk ibarat telah disediakan visualisasi statistik yang dapat dimanfaatkan secara cerdas oleh sang calon beserta team suksesnya untuk menuai simpati hingga memenangkan pemilihan nantinya.
Sekarang bagaimana dengan keaneka-ragaman suku bangsa penduduk dimata seorang Notaris selaku Pejabat Umum yang membuat kan akta-akta otentik? Hal ini merupakan tolak ukur dalam menentukan pembuatan surat keterangan waris bagi para pihak yang datang kepadanya.
Apakah ia menyarankan para pihak untuk membuat surat keterangan waris tersebut oleh Notaris apabila para pihak tersebut dari golongan Tionghoa yang tunduk pada ketentuan Burgelijk Wetbook atau Hukum Perdata Barat. Jika para pihak adalah golongan Bumiputra maka surat keterangan waris tersebut dibuat sendiri dengan diketahui oleh Lurah serta dikuatkan oleh Camat. Sedangkan jika yang datanga adalah golongan Timur Asing bukan Tionghoa seperti orang Arab, India, Pakistan, Mesir dan lainnya, maka surat keterangan waris tersebut akan disarankan Notaris agar pembuatannya dibuat oleh Balai Harta Peninggalan atau BHP. Bagaimana kalau yang datang adalah golongan Tionghoa tapi beragama Islam misalnya, maka surat keterangan waris tersebut dibuat oleh Notaris karena pembutan surat keterangan waris tolak ukurnya adalah golongan penduduk tidak didasarkan pada agama yang dianut.
Bagitu pula pembagian golongan penduduk akan menentukan Hukum Perdata yang bagaimanakah yang akan diberlakukan terhadap masing-masing golongan penduduk yang menurut ketentuan Indiche Stactsregeling (I.S) pasal 163 ayat 1 dibagi ke dalam 3 golongan penduduk Indonesia, berupa:
1. Golongan Eropah, yakni bangsa Belanda, bukan bangsa Belanda (etapi asalnya dari Eropah), bangsa Jepang, orang-orang yang berasal dari negara lain yang bukan keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda (Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan), serta keturunan mereka yang tersebut di atas.
2. Golongan Timur Asing yang meliputi golongan Cina, golongan Timur Asing bukan Cina (Arab, India, Pakistan, Mesin dll).
3. Golongan Bumi Putra (Indonesia), yakni orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan rakyat lain, orang yang mula-mula termasuk golongan-golongan rakyat lain lalu masuk dan menyesuaikan hidup dengan golongan asli.
Sebenarnya pembagian golongan penduduk Indonesia tersebut sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang ini lagi, sudah tidak sesuai zamannya dan ketinggalan kereta. Akan tetapi selama peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda tersebut belum dicabut kita tetap mengenal pembagian golongan penduduk sebagaimana tersebut. Lagi pula toh siapa yang peduli? Sakit hati kita pernah dijajah Belanda seolah sudah memudar seiring memasuki masa reformasi dan lagi pula reformasi sendiri berjalan carut marut dan banyak yang tidak sesuai dengan harapan banyak pihak.
Iya, kita saat ini memang serba sibuk sendiri. Kita saling bertikai dalam level kita sendiri. Beberapa hari lalu dalam berita Seputar Indonesia terjadi pertikaian antar ormas di Jakarta dan berakhir dengan dua orang tewas dengan sia-sia. Dalam acara Info Entertaiment, Moreno dengan Bagoes yang sama-sama pembalap menjadi konsumsi berita karena terlibat perkelahian diantara mereka.
Kemarin saya baca berita di media masa, Pak SBY marah sekali kepada Amien Rais yang berani menudingnya menerima dana kampanye dari DKP dan luar negeri pada Pilpres 2004 lalu. Dan pada pagi hari ini, ketika saya baru buka jendela dan melek mata, terdengar sayup-sayup tetangga depan saya membentak tetangga sebelahnya tanpa saya tahu apa sebabnya. Ya, bagi saya tak apa-apa, mereka bermasalah dalam levelnya. Kalau tetangga saya berani-beraninya membentak Pak SBY jikalau kesempatan itu ada, baru berita sensasi namanya.
Kita sepakati saja, masalah ini seperti badai yang pasti berlalu. Beda itu indah. Banyaknya suku bangsa penduduk Negara kita dan adanya pembagian golongan penduduk tidak lantas membuat jurang pemisah yang tidak kita ketahui dalamnya. Akan tetapi alangkah baik serta bijaknya kita saling mengenal, sebab bukankah “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta?”.(publish in Borneo Tribune, 2 Juli 2007)

Penulis adalah Notaris/PPAT berkedudukan di Kota Pontianak, Legal DPD REI Kalbar dan Yayasan Bunda Kasih Pontianak

Mengenal Golongan Penduduk Indonesia

Oleh: Heryanto, SH, M.Kn

Seperti pepatah “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”. Begitu juga dengan aneka ragamnya penduduk Negara kita yang konon terdiri lebih dari 400 suku bangsa dan tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan corak adat istiadat yang khas dan berbeda satu sama lainnya yang merupakan khazanah kebudayaan yang tiada ternilai harganya.
Dalam wilayah yang sangat luas ini, adat istiadat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercaya sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah.
Lebih daripada itu, menurut penyelidikan Van Vollenhoven maupun sarjana-sarjana lainnya, adat istiadat Indonesia tidak sebatas daerah hukum persada Indonesia serta tidak saja bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia saja, tetapi juga tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Filipina dan Taiwan di sebelah Utara di pulau Malagasi (Madagaskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai di kepulauan Paska yang dianut serta dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti etnik.
Melihat begitu banyaknya suku bangsa penduduk serta betapa luasnya wilayah Negara kita tak ayal kita hidup berbaur dalam berbagai budaya, adat istiadat, karakter serta kultur sosial yang berbeda antara satu suku bangsa penduduk dengan suku bangsa penduduk lainnya dalam Negara kita.
Apakah kita perlu takut hidup dengan berbagai perbedaan itu? Tentu saja tidak. “Beda itu indah”, seperta kata A’a Gym. Kalau kita semuanya sama, akan timbul rasa bosan yang tiada batas tiada ujungnya, karena beda itulah, setiap pagi kita mendapat rahmat bisa menyaksikan terbitnya matahari dan menikmati tenggelamnya sang surya di balik batas cakrawala menjelang senja.
Kerena beda jugalah, kita kenal ada lembah sebagai kebalikan dari kebukitan atau pegunungan. Adanya jenis kelamin laki-laki yang berbeda dari perempuan, adanya bangunan gubuk yang berbeda harga ekonomianya dengan gedung pencakar langit, adanya susah dan senang, sehat dan sakit, kaya dan miskin dan masih ada seribu satu perbedaan lagi.
Begitu juga dalam berbangsa dan bernegara dalam masyarakat kita. Kultur budaya Wong Solo beda dengan orang Medan, Andi yang dari Sulawesi berbeda perangainya dari Koko David maupun Cece Natalie yang dari etnis Tionghoa. Ritual keagamaan yang dilakukan Made dari Bali beda dengan Marcelia kekasihnya yang berasal dari Nusa Tenggara. Aksennya Bang Mandra dari Betawi kentara bedanya dari Basoefi yang Arek Suroboyo maupun dengan Fitriyani yang berasal dari Kabupaten Sambas yang rumpun Melayu.
Beragam perbedaan suku bangsa penduduk Negara kita sesungguhnya adalah suatu berkah dan maha karuia bila kita dengan pikiran positif dan terbuka menerima dan mengelolanya baik itu untuk penelitian buat seorang Antropolog, pengambil kebijakan pemerintah, bakal calon Kepala Daerah yang lagi hangat-hangatnya saat ini sampai buat seorang Notaris sebagai Pejabat Umum.
Bagi seorang Anthropolog yang mempelajari beraneka suku-suku bangsa ternyata didapati suku bangsa penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai akan berbeda temteramennya dengan suku bangsa penduduk yang tinggal di dekat daerah pegunungan. Sedangkan bagi pengambil kebijakan, beraneka ragam suku memudahkan mensosialisasikan maupun menerapkan kebijakan program yang telah dibuat. Bagi seorang calon Kepala Daerah, beraneka ragam suku bangsa penduduk ibarat telah disediakan visualisasi statistik yang dapat dimanfaatkan secara cerdas oleh sang calon beserta team suksesnya untuk menuai simpati hingga memenangkan pemilihan nantinya.
Sekarang bagaimana dengan keaneka-ragaman suku bangsa penduduk dimata seorang Notaris selaku Pejabat Umum yang membuat kan akta-akta otentik? Hal ini merupakan tolak ukur dalam menentukan pembuatan surat keterangan waris bagi para pihak yang datang kepadanya.
Apakah ia menyarankan para pihak untuk membuat surat keterangan waris tersebut oleh Notaris apabila para pihak tersebut dari golongan Tionghoa yang tunduk pada ketentuan Burgelijk Wetbook atau Hukum Perdata Barat. Jika para pihak adalah golongan Bumiputra maka surat keterangan waris tersebut dibuat sendiri dengan diketahui oleh Lurah serta dikuatkan oleh Camat. Sedangkan jika yang datanga adalah golongan Timur Asing bukan Tionghoa seperti orang Arab, India, Pakistan, Mesir dan lainnya, maka surat keterangan waris tersebut akan disarankan Notaris agar pembuatannya dibuat oleh Balai Harta Peninggalan atau BHP. Bagaimana kalau yang datang adalah golongan Tionghoa tapi beragama Islam misalnya, maka surat keterangan waris tersebut dibuat oleh Notaris karena pembutan surat keterangan waris tolak ukurnya adalah golongan penduduk tidak didasarkan pada agama yang dianut.
Bagitu pula pembagian golongan penduduk akan menentukan Hukum Perdata yang bagaimanakah yang akan diberlakukan terhadap masing-masing golongan penduduk yang menurut ketentuan Indiche Stactsregeling (I.S) pasal 163 ayat 1 dibagi ke dalam 3 golongan penduduk Indonesia, berupa:
1. Golongan Eropah, yakni bangsa Belanda, bukan bangsa Belanda (etapi asalnya dari Eropah), bangsa Jepang, orang-orang yang berasal dari negara lain yang bukan keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda (Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan), serta keturunan mereka yang tersebut di atas.
2. Golongan Timur Asing yang meliputi golongan Cina, golongan Timur Asing bukan Cina (Arab, India, Pakistan, Mesin dll).
3. Golongan Bumi Putra (Indonesia), yakni orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan rakyat lain, orang yang mula-mula termasuk golongan-golongan rakyat lain lalu masuk dan menyesuaikan hidup dengan golongan asli.
Sebenarnya pembagian golongan penduduk Indonesia tersebut sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang ini lagi, sudah tidak sesuai zamannya dan ketinggalan kereta. Akan tetapi selama peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda tersebut belum dicabut kita tetap mengenal pembagian golongan penduduk sebagaimana tersebut. Lagi pula toh siapa yang peduli? Sakit hati kita pernah dijajah Belanda seolah sudah memudar seiring memasuki masa reformasi dan lagi pula reformasi sendiri berjalan carut marut dan banyak yang tidak sesuai dengan harapan banyak pihak.
Iya, kita saat ini memang serba sibuk sendiri. Kita saling bertikai dalam level kita sendiri. Beberapa hari lalu dalam berita Seputar Indonesia terjadi pertikaian antar ormas di Jakarta dan berakhir dengan dua orang tewas dengan sia-sia. Dalam acara Info Entertaiment, Moreno dengan Bagoes yang sama-sama pembalap menjadi konsumsi berita karena terlibat perkelahian diantara mereka.
Kemarin saya baca berita di media masa, Pak SBY marah sekali kepada Amien Rais yang berani menudingnya menerima dana kampanye dari DKP dan luar negeri pada Pilpres 2004 lalu. Dan pada pagi hari ini, ketika saya baru buka jendela dan melek mata, terdengar sayup-sayup tetangga depan saya membentak tetangga sebelahnya tanpa saya tahu apa sebabnya. Ya, bagi saya tak apa-apa, mereka bermasalah dalam levelnya. Kalau tetangga saya berani-beraninya membentak Pak SBY jikalau kesempatan itu ada, baru berita sensasi namanya.
Kita sepakati saja, masalah ini seperti badai yang pasti berlalu. Beda itu indah. Banyaknya suku bangsa penduduk Negara kita dan adanya pembagian golongan penduduk tidak lantas membuat jurang pemisah yang tidak kita ketahui dalamnya. Akan tetapi alangkah baik serta bijaknya kita saling mengenal, sebab bukankah “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta?”.(publish in Borneo Tribune, 2 Juli 2007)

Penulis adalah Notaris/PPAT berkedudukan di Kota Pontianak, Legal DPD REI Kalbar dan Yayasan Bunda Kasih Pontianak

Catatan Tertinggal Buat Polisi

Oleh: Heryanto

Momen hari ulang tahun Bhayangkara yang jatuh pada tanggal 1 Juli memang sudah usai dan berlalu sudah. Ulang tahun adalah suatu perayaan, peringatan bahwa polisi sebagai pelindung dan abdi hukum memang diakui jati dirinya.

Masalah utamanya adalah bagaimana persepsi kita sebagai masyarakat terhadap polisi sesungguhnya dan bagaimana polisi menjalani keberadaannya di antara kita.
Anggaplah coretan tulisan saya ini sebagai catatan tertinggal yang mewakili pandangan dan perasaan siapapun yang sependapat dengan saya terhadap Polisi yang tahun ini telah memasuki usia ke-61 nya.
Yang saya yakini polisi adalah profesi mulia. Jarang-jarang ada yang “terpaksa” jadi polisi, sehingga setiap individu yang memilih karir dan jalan hidupnya sebagai polisi adalah cita-cita idamannya.
Sebagai masyarakat awam yang tidak memiliki keluarga yang berlatar belakang kepolisian, memang menyebabkan agak sulit untuk mengetahui secara persis lika-liku kehidupan maupun sepak terjang seorang polisi di lapangannya. Tetapi bagi saya polisi itu milik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan polisi itu garda terdepan bagi masyarakat untuk mencari keadilan, sehingga sosok dan kiprah seorang polisi mudah kita ketahui secara transparan.
Untuk meneropong lebih jauh persepsi kita terhadap polisi, teramatlah banyak parameter serta segi-segi sudut pandangnya. Penelitian terhadap peranan dan tugas polisi dapat dikatakan masih kurang sekali dilakukan terutama di Indonesia.
Di negara-negara lain, peranan dan tugas polisi mendapat sorotan yang cukup tajam terutama dari para sosiolog. Suatu penelitian tentang polisi Amerika Serikat yang pernah dilakukan oleh Jerome H. Skolnick dalam bukunya: “Justice Without Trial: Law Enforcement In Democratic Society” menyimpulkan bahwa polisi-polisi di negara-negara yang demokratis bertugas untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat di bawah naungan rule of law atau aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai barometer kontrol perilaku polisi. Ada kata kunci dalam memilah baik-buruk seorang polisi, bahwa modal polisi adalah moralnya.
Beranjak dari persoalan moral inilah lahirlah titisan adanya cap polisi baik dan polisi tidak baik. Semuanya tergantung moral dan moral itu adalah buah kesadaran serta kemauan untuk memberikan citra apakah seorang berpredikat polisi berhati emas atau tidak.
Seiring pula dengan lengsernya orde baru dan yang kini di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, terasalah bagi kita aparatur negara kita juga mereformasi diri, tidak terkecuali pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Reformasi diri di tubuh Polri menurut hemat saya memang harus dari atas yakni dari sosok yang ditunjukan oleh Kapolri Jenderal Polisi Drs. Sutanto beserta juga seluruh jajaran ke bawahnya.
Pembinaan maupun mewujudkan citra polisi adalah hal yang dinamis dan perlu suri teladan dari waktu ke waktu yang tidak kenal lelah. Berat ? tentu saja ya, sebab citra polisi tidak akan terbangun seperti pameo
“Kota Roma dibangun tidak hanya semalam saja” tapi perlu dukungan jajaran anggota serta partisipasi yang besar dari masyarakat juga.
Di Jepang misalnya, Polisi Masyarakat (Polmas) berfungsi menjaga keamanan siang dan malam. Mulai dari mengawasi lalu lintas, patroli lingkungan hingga melakukan kunjungan ke rumah-rumah penduduk. Tugas mereka harus memberi rasa aman dan ketenangan bagi masyarakat dengan mencegah kejahatan. Polisi juga memberi bimbingan pada remaja, melindungi anak tersesat, orang mabuk dan memberi konseling kepada orang yang dalam kesulitan. (A.Alexander Mering, Borneo Tribune, 1 Juli 2007).
Sedangkan menurut Adrianus Meliala dalam bukunya : “Mengkritisi Polisi”, polisi digolongkan kedalam 4 kriteria, yakni : baik, sangat baik, jelek dan sangat jelek. Ternyata dalam prakteknya, tidaklah juga mudah menemukan standar atau batasan dari kriteria tersebut karena banyaknya parameter dan segi sudut pandangnya tadi.
Sebagai ilustrasi menurut Adrianus masih dalam bukunya tersebut, film “Dirty Harry” yang dibintangi Clint Eastwood, polisi jelek digambarkan sebagai fenomena polisi yang sudah tidak percaya lagi pada system peradilan pidana sehingga dilakukan hal yang ekstrem dengan menghabisi buruannya.
Begitu juga seperti yang ditayangkan dalam film seri “LAPD Blue”, polisi jelek digambarkan sebagai polisi yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan sendiri, memiliki kaitan dengan organisasi kejahatan atau suka memeras korban kejahatan atau tersangkanya.
Untuk ukuran kita, polisi tidak baik diindikasikan dengan fakta selalu bocornya rencana penggebrekan oleh Polda terhadap sarang judi, sarang tempat maksiat liar, pemerasan, penganiayaan terhadap anggota masyarakat, menjadi penjaga arena judi, jadi tukang gebuk, turut serta sebagai kawanan perampok, meminjamkan senjata api untuk kejahatan dan lain tindakan tidak terpuji lainnya. Baru-baru ini pula, polisi diminta untuk tidak over acting dalam menangkap pelaku kejahatan bila lagi disorot kameraman tivi. Soalnya polisi bukanlah aktor laga dan bukan juga Jackie Chan yang memerankan akting dalam kisah “Police Story”.
Jadi gambaran polisi baik, sudah tentu adalah polisi yang mengayomi, melayani, simpatik, dekat dengan masyarakat, dapat menempatkan hati dan perasaan serta perilakunya manakala ia menghadapi pelaku kejahatan atau hanya masyarakat biasa dalam arti bukan pelaku tindak pidana dan anti KKN.
Antipati masyarakat berupa perasaan tidak menyukai terhadap polisi yang pasti ada tiada lain karena kelompok masyarakat tersebut telah merasakan betapa tidak enaknya berurusan dengan polisi, sehingga alih-alih mereka menginginkan suatu kondisi “masyarakat tanpa polisi” (Policeless society). Secara formal legal, hal ini tentu tidak mungkin terjadi mengingat jasa dan fungsi polisi diselenggarakan Negara melalaui organisasi Polri.
Dengan demikian kondisi “masyarakat tanpa polisi” hanyalah tempias rasa tidak puas yang ber-aroma hujatan. Lagi pula gagasan “masyarakat tanpa polisi” bertentangan dengan pendapat umum yang sudah universal, bahwa dalam suatu masyarakat yang semakin kompleks terjadi suatu konsensus dimana masyarakat melepaskan sebagian haknya kepada polisi sebagai profesi khusus yang berperan melindungi masyarakat dari penyimpangan perilaku sesama anggota masyarakat lainnya. Jadi sesungguhnya di balik rasa tidak suka pada polisi , ada kerinduan masyarakat pada polisi.
Harap diingat juga, polisi, disamping sebagai aparat penegak hukum, polisi adalah juga masyarakat itu sendiri. Jadi memang benar juga bila timbul wacana untuk mempolisikan masyarakat serta memasyarakatkan polisi. Sekian catatan saya.

Heryanto, SH, M.Kn
Penulis adalah Notaris/PPAT Berkedudukan di Pontianak, Legal DPD REI Kalbar Yayasan Bunda Kasih Pontianak.

Impian : Jadi Presiden atau Anak Jalanan

Kemarin aku impikan jadi presiden
Dikawal ketat dan dihormati orang

Tapi hari ini, aku punya impian .....
lebih baik jadi anak jalanan
bisa makan kenyang dipinggir jalan
tanpa dipedulikan orang

Waktu aku pulang kepenginapan
Ibu warung langgananku
Nampak melotot tak senang
Utangku sudah bejibun
Belum juga lunas sekarang

Aku bimbang dengan impianku
Jadi presiden kan tak gampang
Jadi anak jalanan,
Tak diimpikanpun
Memang sudah seperti keadaanku sekarang