Rabu, 25 Juli 2007

Catatan Tertinggal Buat Polisi

Oleh: Heryanto

Momen hari ulang tahun Bhayangkara yang jatuh pada tanggal 1 Juli memang sudah usai dan berlalu sudah. Ulang tahun adalah suatu perayaan, peringatan bahwa polisi sebagai pelindung dan abdi hukum memang diakui jati dirinya.

Masalah utamanya adalah bagaimana persepsi kita sebagai masyarakat terhadap polisi sesungguhnya dan bagaimana polisi menjalani keberadaannya di antara kita.
Anggaplah coretan tulisan saya ini sebagai catatan tertinggal yang mewakili pandangan dan perasaan siapapun yang sependapat dengan saya terhadap Polisi yang tahun ini telah memasuki usia ke-61 nya.
Yang saya yakini polisi adalah profesi mulia. Jarang-jarang ada yang “terpaksa” jadi polisi, sehingga setiap individu yang memilih karir dan jalan hidupnya sebagai polisi adalah cita-cita idamannya.
Sebagai masyarakat awam yang tidak memiliki keluarga yang berlatar belakang kepolisian, memang menyebabkan agak sulit untuk mengetahui secara persis lika-liku kehidupan maupun sepak terjang seorang polisi di lapangannya. Tetapi bagi saya polisi itu milik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan polisi itu garda terdepan bagi masyarakat untuk mencari keadilan, sehingga sosok dan kiprah seorang polisi mudah kita ketahui secara transparan.
Untuk meneropong lebih jauh persepsi kita terhadap polisi, teramatlah banyak parameter serta segi-segi sudut pandangnya. Penelitian terhadap peranan dan tugas polisi dapat dikatakan masih kurang sekali dilakukan terutama di Indonesia.
Di negara-negara lain, peranan dan tugas polisi mendapat sorotan yang cukup tajam terutama dari para sosiolog. Suatu penelitian tentang polisi Amerika Serikat yang pernah dilakukan oleh Jerome H. Skolnick dalam bukunya: “Justice Without Trial: Law Enforcement In Democratic Society” menyimpulkan bahwa polisi-polisi di negara-negara yang demokratis bertugas untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat di bawah naungan rule of law atau aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai barometer kontrol perilaku polisi. Ada kata kunci dalam memilah baik-buruk seorang polisi, bahwa modal polisi adalah moralnya.
Beranjak dari persoalan moral inilah lahirlah titisan adanya cap polisi baik dan polisi tidak baik. Semuanya tergantung moral dan moral itu adalah buah kesadaran serta kemauan untuk memberikan citra apakah seorang berpredikat polisi berhati emas atau tidak.
Seiring pula dengan lengsernya orde baru dan yang kini di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, terasalah bagi kita aparatur negara kita juga mereformasi diri, tidak terkecuali pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Reformasi diri di tubuh Polri menurut hemat saya memang harus dari atas yakni dari sosok yang ditunjukan oleh Kapolri Jenderal Polisi Drs. Sutanto beserta juga seluruh jajaran ke bawahnya.
Pembinaan maupun mewujudkan citra polisi adalah hal yang dinamis dan perlu suri teladan dari waktu ke waktu yang tidak kenal lelah. Berat ? tentu saja ya, sebab citra polisi tidak akan terbangun seperti pameo
“Kota Roma dibangun tidak hanya semalam saja” tapi perlu dukungan jajaran anggota serta partisipasi yang besar dari masyarakat juga.
Di Jepang misalnya, Polisi Masyarakat (Polmas) berfungsi menjaga keamanan siang dan malam. Mulai dari mengawasi lalu lintas, patroli lingkungan hingga melakukan kunjungan ke rumah-rumah penduduk. Tugas mereka harus memberi rasa aman dan ketenangan bagi masyarakat dengan mencegah kejahatan. Polisi juga memberi bimbingan pada remaja, melindungi anak tersesat, orang mabuk dan memberi konseling kepada orang yang dalam kesulitan. (A.Alexander Mering, Borneo Tribune, 1 Juli 2007).
Sedangkan menurut Adrianus Meliala dalam bukunya : “Mengkritisi Polisi”, polisi digolongkan kedalam 4 kriteria, yakni : baik, sangat baik, jelek dan sangat jelek. Ternyata dalam prakteknya, tidaklah juga mudah menemukan standar atau batasan dari kriteria tersebut karena banyaknya parameter dan segi sudut pandangnya tadi.
Sebagai ilustrasi menurut Adrianus masih dalam bukunya tersebut, film “Dirty Harry” yang dibintangi Clint Eastwood, polisi jelek digambarkan sebagai fenomena polisi yang sudah tidak percaya lagi pada system peradilan pidana sehingga dilakukan hal yang ekstrem dengan menghabisi buruannya.
Begitu juga seperti yang ditayangkan dalam film seri “LAPD Blue”, polisi jelek digambarkan sebagai polisi yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan sendiri, memiliki kaitan dengan organisasi kejahatan atau suka memeras korban kejahatan atau tersangkanya.
Untuk ukuran kita, polisi tidak baik diindikasikan dengan fakta selalu bocornya rencana penggebrekan oleh Polda terhadap sarang judi, sarang tempat maksiat liar, pemerasan, penganiayaan terhadap anggota masyarakat, menjadi penjaga arena judi, jadi tukang gebuk, turut serta sebagai kawanan perampok, meminjamkan senjata api untuk kejahatan dan lain tindakan tidak terpuji lainnya. Baru-baru ini pula, polisi diminta untuk tidak over acting dalam menangkap pelaku kejahatan bila lagi disorot kameraman tivi. Soalnya polisi bukanlah aktor laga dan bukan juga Jackie Chan yang memerankan akting dalam kisah “Police Story”.
Jadi gambaran polisi baik, sudah tentu adalah polisi yang mengayomi, melayani, simpatik, dekat dengan masyarakat, dapat menempatkan hati dan perasaan serta perilakunya manakala ia menghadapi pelaku kejahatan atau hanya masyarakat biasa dalam arti bukan pelaku tindak pidana dan anti KKN.
Antipati masyarakat berupa perasaan tidak menyukai terhadap polisi yang pasti ada tiada lain karena kelompok masyarakat tersebut telah merasakan betapa tidak enaknya berurusan dengan polisi, sehingga alih-alih mereka menginginkan suatu kondisi “masyarakat tanpa polisi” (Policeless society). Secara formal legal, hal ini tentu tidak mungkin terjadi mengingat jasa dan fungsi polisi diselenggarakan Negara melalaui organisasi Polri.
Dengan demikian kondisi “masyarakat tanpa polisi” hanyalah tempias rasa tidak puas yang ber-aroma hujatan. Lagi pula gagasan “masyarakat tanpa polisi” bertentangan dengan pendapat umum yang sudah universal, bahwa dalam suatu masyarakat yang semakin kompleks terjadi suatu konsensus dimana masyarakat melepaskan sebagian haknya kepada polisi sebagai profesi khusus yang berperan melindungi masyarakat dari penyimpangan perilaku sesama anggota masyarakat lainnya. Jadi sesungguhnya di balik rasa tidak suka pada polisi , ada kerinduan masyarakat pada polisi.
Harap diingat juga, polisi, disamping sebagai aparat penegak hukum, polisi adalah juga masyarakat itu sendiri. Jadi memang benar juga bila timbul wacana untuk mempolisikan masyarakat serta memasyarakatkan polisi. Sekian catatan saya.

Heryanto, SH, M.Kn
Penulis adalah Notaris/PPAT Berkedudukan di Pontianak, Legal DPD REI Kalbar Yayasan Bunda Kasih Pontianak.

1 komentar:

IBU.FATMA WATI.MALAYSIA TAWAU mengatakan...

KISAH NYATA.
Ass.Saya IBU Yunu Sara.Dari Kota Surabaya Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Nyi Pele,saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya dikasi solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Hyi Pele alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Nyi,mau seperti saya silahkan hub Nyi
Dimas di nmr 0823-9350-0556 Nyi Pele,ini nyata demi Allah kalau saya bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.PESUGIHAN NYI PELE